DR.Efrinaldi, Pemikiran Politik Islam

Jumat, 10 April 2009

Buat Apa Bergelar Doktor dan Profesor
Kamis, 22 November 2007


Buat apa ada perguruan tinggi (PT)? PT tempat berlangsung pendidikan tinggi. Apa itu pendidikan tinggi? Pendidikan bagi para mahasiswa untuk dilatih berpikir mandiri/akademik/metodologis,baik diploma/strata-1 (bachelor) maupun starata-2 (master) dan strata-3 (philosophy of doctor/Ph.D). Bagaimana belajar/berlatih berpikir mandiri? Bilamana mahasiswa tak lagi mencawan (sepenuhnya hanya menerima dari apa yang
disampaikan dosen walau diktat sudah diulang-ulang entah berapa tahun walau sudah tak beresonansi) di sekolah menengah pun tak boleh mencawan.
Mahasiswa tak hanya mencukupkan dari yang diberikan dosen, tapi berusaha mencari sendiri. Sama ada dari berdiskusi dengan dosen/sesama mahasiswa/senior/pelaku apa saja di tengah masyarakat bahkan dengan siapa saja, dari membaca buku dan hasil
penelitian, dari menghadiri pertemuan ilmiah, dan entah dari mana lagi. Kenapa mahasiswa dilatih berpikir mandiri secara akademik/disiplin ilmu? Mahasiswa akan menjadi sarjana. Bilamana sudah sarjana, ia dipandang sudah memiliki dua pisau: pisau akademik dan pisau metodologis/disiplin ilmu. Pisau akademik memungkinkan sarjana memiliki daya
pikir/pemikiran yang berbentuk/memiliki struktur, sistematik, analitik, dasar/referensi dan kerangka pikir (frame work dan plate form), mampu membangun sudut/sisi/fokus pandang, mampu memandang/mengolah dan menyimpulkan/memberi
pendapat.
Singkatnya, secara umum, seorang sarjana sudah dapat/jadi imam intelektual. Setiap sarjana diasumsikan memiliki daya pikir akademis-apa pun jua disiplin ilmu/jujurusan/fakultas/PT-nya. Pisau metodologis/disiplin ilmu, mendayaguna pikir
yang dijuruskan dan diarahkan serta diaplikasikan secara disiplin ilmu dengan menggunakan metode/cara bahas dan analisis sesuai disiplin ilmu-walaupun cara pikir/cara bahas dan hasilnya keliru. Yang jadi masalah, bilamana mahasiswa tidak berlatih berpikir/membahas/menganalisa kemandirian berpikir. Mahasiswa tak melatih daya pikir, tak membiasakan diri mengembangkan intelektualitas, tak berusaha mencari sendiri-semata mencukupkan apa yang diberikan dosen di muka kelas, tak membiasakan berdiskusi/mendiskusikan, tak biasa membaca buku/hasil penelitian, tak berusaha melatih memproduksi hasil pemikiran, dan seterusnya.
Mahasiswa menjadi demikian karena di PT di mana ia memahasiswa tak ada/tak terbangun lingkungan masyarakat ilmiah, karena para dosen hanyalah guru yang memberikan diktat--tidak mengikuti perkembangan/tidak punya tradisi ilmiah dan atau ketika jadi mahasiswa dahulu pun juga tidak melatih daya pikir akademik/metodologis. Hanya karena
melamar menjadi pegawai negeri sipil saja ia didosenkan. Setelah menjadi PNS dan jadi dosen ia hanya berpikir naik pangkat/dapat jabatan-berorientasi uang/materialistik. LALU, persyaratan dosen harus selesai S-2, baik rekrutmen baru maupun yang sudah terlanjur jadi dosen (harus mengikuti/menyelesaikan S-2/program master)--harus sekolah/disekolahkan lagi. Sebagian mengambil S-3 (program doktor)--sama ada dalam negeri atau luar negeri (keharusan berbahasa Inggeris). Beberapa dosen yang sudah S-3 pula mendapatkan status mahaguru secara kepangkatan (IV-D) dan atau keilmuan ,walau pangkat masih rendah.
Hanya kemudian, beliau yang bergelar akademis Ph.D/profesor itu tetaplah bak dosen seperti sebelumnya. Tidak banyak perkembangan tingkat kemampuan/cara berpikir dan tidak kelihatan peningkatan intelektualitas dan tradisi
ilmiahnya. Tidak terbiasa membaca/mendiskusikan/membahas/menghasilkan pemikiran -- memasyarakatkan hasil pemikiran, tidak ada penelitian -- kalau ada hanya sekedar memenuhi kewajiban (penelitian tidak berguna), dan apa pula akan menulis buku! Berapa banyak mereka yang menyelesaikan S-2 (master) dan berapa banyak pula yang sudah menyelesaikan S-3 (Ph.D) serta berapa banyak pula yang sudah jadi profesor -- katakan saja di berbagai PT
(negeri/swasta) di Sumatera Barat? Apa saja atau adakah kontribusi pemikiran para master/Ph.D/profesor terhadap
pencerdasan berkehidupan di daerah ini? Yang jadi masalah, para master/Ph.D/profesor sudah merasa cukup/selesai
dengan status gelar master/Ph.D/profesornya! Tak ada keharusan/kewajiban dan reward/funishment yang jelas/rigid bagi
master/Ph.D/profesor.
Artinya, walau para master/Ph.D/profesor tidak mengembangkan tradisi ilmiahnya/meningkatkan kemampuan
intelektualitasnya sehingga tidak mampu memberikan kontribusi pemikiran, misalnya!? Bagaimana dengan
tanggungjawab/kifayah ketahuan dan keilmuan -- bagaimana dengan gugatan Bung Hatta (1955/saat ulang tahun
Univeritas Indonesia/UI) tentang tanggungjawab kaum intelegensia!? Kalau pun ada sebagian dari master/Ph.D/profesor
berkiprah/memberikan kontribusi dari ketahuan dan keilmuannya terhadap pencerdasan masyarakat/mencerdaskan
kehidupan bangsa/masyarakat dan menuangkan pemikiran untuk membantu mencerdaskan masyarakat/organisasi
pemerintah dan swasta dalam merumuskan tujuan/sasaran/target dan dalam penyusunan strategi/program serta dalam
proses mencapai tujuan, belum cukup direspon sebagai kebaikan yang pantas/layak dihargai lembaga yang memiliki
otoritas untuk itu. Kita tidak/belum punya tradisi mengapresiasi/menghargai kelebihan dan perbuatan baik yang
berbuga!?
Mana hasil penelitian para master/Ph.D/profesor yang berguna dan layak dipublikasi/dibukukan!? Kalau pun ada -- sebut
saja hasil penelitian Prof. Dr. Musliar Kasim MA (kini rektor Universitas Andalas/Unand), kita /tidak belum punya
kemampuan memadai menghargai. Para master/Ph.D/profesor yang hasil penelitian pun tidak merasa malu. Jadi,
seakan-akan tidak ada beda master/Ph.D/profesor yang jumud/mendengkur dengan yang bergairah/berkeringat dan
memberikan kontribusi/menulis buku, misalnya, selain anfullen!? Ada penilaian terhadap karya ilmiah yang ditulis --
apalagi dibukukan, dan yang ranking atas/terbaik mendapat apresiasi sejumlah uang yang pantas!? Bayangkan, kalau
semua tesis master/Ph.D dan orasi ilmiah profesor dibukukan!! Kalau sebagian besar hasil penelitian para
master/Ph.D/profesor dibukukan dan berguna bagi masyarakat!!
Terakhir, rektor Unand Prof. Musliar Kasim membangun tradisi ilmiah baru: menerbitkan 50 buku karya dosen saat dies
natalis PT itu (2006) pada usia 50 tahun -- alhamdulillah! Bagaimana dengan master/Ph.D/profesor yang masih
terlelap/mendengkur? Bagaimana dengan master/Ph.D/profesor di PT lain yang hanya memproduksi para
master/magister yang tidak cukup berguna selain semata status sudah selesai S-2!? BEGITULAH Cucu Magek Dirih
merasa bangga/salut pada dosen muda Efrinaldi MA, Ph.D, yang sudah menulis lima buku -- buku ke-5 tentang Fiqh
Siasah: Dasar-dasar Pemikiran Islam. Buku terbaru Efrinaldi itu dibedah pada hari pertama pembukaan Padang Book
Fair 2007, Sabtu (10/11), di Gedung Bagindo Azis Chan dengan pembahas Prof. Dr. H. Yashwirman MA -- Cucu Magek
Dirih diminta jadi moderator. Kami bertiga (Efrinadi/Yaswirman/Cucu) seperinduan/sama-sama keluarga Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang -- hanya Cucu tersesat jadi saudagar media.
Alhamdulillah, pengunjung yang mengikuti bedah buku cukup tinggi. Bedah buku pun jadi menarik karena
kegenialan/kepiawaian Prof Yaswirman bermantiq-ria tentang salah kaprah dalam menerapkan ilmu-ilmu dasar Islam. Ia
mencontohkan gagasan penetapan satu Syawal melalui voting, yang membuat sebagian hadirin menggelinjang karena
tergelitik. Yashwirman merasa senang karena selama ini Syariah dan ilmu fiqh dikrangkeng sebatas hukum Islam.
Syariah tidak sebatas hukum, tapi, berbagai aspek kehidupan. Ada sedikit perbedaan tesis Efrinaldi dengan seniornya
(Yaswirman), bahwa pilihan bernegara tidak mesti melalui jalan politik praktis/partai politik seperti cenderung diajukan
Efrinaldi. Yaswirman belum percaya kader/petinggi partai politik berlabel Islam tak akan
memperkosa/memperalat/menjadikan hanya kendaraan politik. Lagi pula, partai politik terbukti mereduksi/mengerdilkan
Islam. Membuat kaum muslimin terpecah.
”Islam yang benar” adalah yang diklaim partai politik Islam yang menang -- kasihan Islam partai politik
Islam yang kalah. Ia juga ”meledek”, (selama ini) buku-buku pemikiran Islam tidak bestseller. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unand menawarkan Efrinaldi misbar/Universiti Sains Malaysia mencari pakar pemkiran
Islam dengan salary menggiurkan. Master/Ph.D/profesor yang menulis buku memiliki posisi tawar yang menjanjikan.
Nah, buat apa meraih/bergelar S-2/S-3 (master/Ph.D) dan ditahbiskan jadi profesor kalau hanya mencukupkan memberi
kuliah dua jam/pekan, lalu berburu jam kuliah di PT lain/berburu proyek penelitian instansi pemerintahan untuk semata
berharap tambahan penghasilan dengan membuat analisis/telaah sesuai keinginan pemesan. Bagaimana dengan
master/Ph.D/profesor yang tidak ada karya ilmiah/tidak menulis artikel -- apalagi akan menulis/menerbitkan buku!?
Bagaimana kalau master/Ph.D/profesor hanya sebatas guru/memberi kuliah -- tidak sama sekali hendak memberi
konsribusi/menunai tanggungjawab intelektualitas sebagai kaum terdidik seperti dikatakan Bung Hatta mengutip Harry J.
Benda!? Buat apa meraih master/Ph.D/profesor jiaka tidak mencerdaskan masyarakat dalam berkehidupan, dalam
membantu merumuskan cita-cita/tujuan/sasaran target, dan menentukan pilihan tindakan/cara bekerja (proses)
mencapai tujuan/sasaran/target!? Apa nanti -- sebagaimana hanya dengan sebagian besar guru yang tidak lulus
sertifiksi guru -- para master/Ph.D/profesor nanti juga tidak akan lulus dalam sertifikasi dosen, dan tidak dapat menikmati
tunjangan fungsional -- atau dicabut saja semua label akademis yang disandang!?** Oleh :H. Sutan Zaili AsrilDikutip dari
: Harian padang Ekspres
:: Jurusan Teknik Mesin
http://me.polinpdg.ac.id Powered by Joomla! Generated: 20 March, 2009, 21:14
:

MANIFESTASI KESABARA

MANIFESTASI KESABARAN
Oleh: Efrinaldi, M.Ag.


Sabar adalah akhlak terpuji dan termasuk salah satu tiang iman. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkan kesabaranmu serta tetaplah bersiapsiaga (mempertahankan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.” (QS. Ali Imran/3: 200).
Secara etimologis, sabar berasal dari kata shabara, yashbiru, shabran, yang berarti tabah hati; berani atas sesuatu. Dalam pengertian umum, sabar bukanlah berarti menyerah begitu saja kepada keadaan, tetapi suatu sikap hati yang teguh, tidak mengeluh karena musibah atau bencana yang menimpa.
Sabar pada hakikatnya merupakan suatu sikap moralitas yang terpuji dan menjadi benteng terhadap perbuatan yang tercela. Sabar menjadi tolok ukur yang tepat untuk membuktikan seseorang berjiwa besar. Bahkan, kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat terkait erat dengan sikap sabar dan taqwa. Firman Allah: Sesungguhnya siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf/12: 90).
Sabar bukan menerima saja apa yang ada tanpa melakukan ikhtiar, tetapi berupaya terus untuk mencari jalan keluar, sampai berhasilnya suatu cita-cita dengan ketetapan hati yang teguh. Sabar dalam suatu perjuangan adalah orang yang berani. Sabar dalam menyimpan rahasia adalah orang yang dapat dipercaya. Sedangkan sabar terhadap sesuatu yang tidak disukai adalah ridha. Seorang muslim hendaknya selalu sabar terhadap apa saja yang datang dari Allah SWT dan yakin ada hikmah di balik setiap cobaan dan bencana yang menimpa.
Secara esensial, kesabaran itu diterapkan dalam tiga hal. Pertama, sabar ketika musibah menerpa. Musibah, bencana atau cobaan yang ditimpakan Allah kepada hamba-Nya, seperti gempa bumi, kemarau yang panjang, dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan sarana untuk menguji keimanan manusia. Allah berfirman: “Kami pasti akan menguji kamu dengan sesuatu ujian, baik berupa ketakutan, kelaparan, menyusutnya harta benda dan nyawa, maupun berkurangnya hasil buah-buahan. Sampaikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah/2: 155).
Orang yang sabar ketika musibah menimpa dirinya selalu bersikap teguh hati dan semakin ingat kepada keagungan Tuhannya. Karena, dalam keyakinannya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Inilah hakikat ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dalam kalbu seorang Muslim. Atas dasar ini, orang yang sabar tidak mudah berputus asa dari rahmat Allah.
Kedua, sabar dalam melaksanakan ibadah. Kesabaran dalam beribadah terwujud dalam sikap mampu mengendalikan diri, tidak tergesa-gesa, khusyu’ dan mematuhi rukun dan syarat yang terkait dengan ibadah tersebut. Lebih-lebih lagi, pada hakikatnya ibadah itu merupakan suatu sarana bagi terjalinnya hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Ketiga, sabar dari mengerjakan maksiat. Kesabaran bila berhadapan dengan maksiat tercermin dari sikap mengekang dan menghindarkan diri dari perbuatan maksiat tersebut. Sabar terhadap keinginan berbuat maksiat adalah menjaga kesucian diri (iffah). Kecenderungan dan daya tarik berbuat maksiat itu biasanya jauh lebih kuat daripada motivasi untuk berbuat kebaikan. Kesabaran termanifestasi dalam upaya mengendalikan diri agar jangan sampai terjerumus ke lembah maksiat itu. Wallahu A’lam bi al-Shawab.











Jalan menuju Allah adalah jalan yang berat, perjalanan kepada Allah itu panjang. Tidak ada yang mampu mengarungi perjalanan itu kecuali orang yang bersabar ketika bencana menerpa, bersabar dalam melaksanakan ibadah, serta bersabar dalam mengendalikan diri terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.


“Patience is the base of happiness” (Kesabaran adalah pokok kebahagiaan).

Label:

MANIFESTASI KESABARAN

MANIFESTASI KESABARAN
Oleh: DR. Efrinaldi, M.Ag.


SABAR adalah akhlak terpuji dan termasuk salah satu tiang iman. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkan kesabaranmu serta tetaplah bersiapsiaga (mempertahankan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.” (QS. Ali Imran/3: 200).
Peribahasa Inggeris bertutur, “Patience is the base of happiness” (Kesabaran adalah pokok kebahagiaan). Sabar merupakan suatu sikap jiwa yang positif dan kunci sukses dalam menghadapi berbagai kendala, problematika hidup, dan berbagai musibah yang menerpa. Dalam kesabaran terpancar sikap jiwa yang optimis, bukan malah pesimis dan apatis, tetapi penuh dinamika dan bersahaja.

HAKIKAT SABAR
Secara etimologis, sabar berasal dari kata shabara, yashbiru, shabran, yang berarti tabah hati; berani atas sesuatu. Dalam asumsi dan makna umum, sabar bukanlah berarti menyerah begitu saja kepada keadaan, tetapi sabar adalah suatu sikap hati yang tabah dan teguh, tidak gampang mengeluh karena musibah yang menimpa atau bencana yang menerpa.
Sabar pada hakikatnya merupakan suatu sikap moralitas yang terpuji dan menjadi benteng terhadap perbuatan yang maksiat dan tercela, serta sebagai solusi dinamis dalam perilaku menghadapi berbagai kendala dan problema. Sabar menjadi tolok ukur yang tepat untuk membuktikan seseorang berjiwa besar. Bahkan, kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat terkait erat dengan sikap sabar dan taqwa. Firman Allah: Sesungguhnya siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf/12: 90).
Sabar bukan menerima saja apa yang ada tanpa melakukan ikhtiar, tetapi berupaya terus untuk mencari jalan keluar, sampai berhasilnya suatu cita-cita mulia dengan penuh ketabahan dan ketetapan hati yang teguh. Sabar dalam suatu perjuangan adalah orang yang berani menghadapi dan menempuh resiko dengan perhitungan yang tepat. Sabar dalam memegang amanah dan menyimpan rahasia adalah orang yang dapat dipercaya dan mempunyai kredibilitas yang tinggi. Sedangkan sabar terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang tidak disukai adalah ridha. Seorang muslim hendaknya selalu bersikap sabar terhadap apa saja yang datang dari Allah SWT dan yakin ada hikmah di balik setiap peristiwa dan bencana yang menimpa.

APLIKASI SIKAP SABAR
Jalan menuju hidayah Allah adalah jalan yang berat. Perjalanan menggapai keridhaan Ilahi itu panjang dan penuh cobaan. Tidak ada yang mampu mengarungi perjalanan itu kecuali orang yang bersabar ketika bencana menerpa, bersabar dalam melaksanakan ketaatan, serta bersabar dalam mengendalikan diri dari terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.
Secara esensial, kesabaran itu diterapkan dalam tiga hal. Pertama, sabar ketika musibah menerpa (ash-shabr ‘alal mushibah). Musibah, bencana atau cobaan yang ditimpakan Allah kepada hamba-Nya, seperti gempa bumi, kemarau yang panjang, gunung meletus, tanah longsor, dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan sarana untuk menguji keimanan manusia. Allah berfirman: “Kami pasti akan menguji kamu dengan sesuatu ujian, baik berupa ketakutan, kelaparan, menyusutnya harta benda dan nyawa, maupun berkurangnya hasil buah-buahan. Sampaikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah/2: 155).
Orang yang sabar ketika musibah menimpa dirinya selalu bersikap teguh hati dan semakin ingat kepada keagungan dan kebesaran Tuhannya. Karena, dalam keyakinannya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Inilah hakikat ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dalam kalbu seorang Muslim. Atas dasar ini, orang yang sabar tidak mudah berputus asa dalam mengharap rahmat dan ‘inayah Allah.
Kedua, sabar dalam melaksanakan ketaatan dalam beribadah (ash-shabr bith-tha’ah). Kesabaran dalam beribadah terwujud dalam sikap penuh taat, mampu mengendalikan diri dan tidak tergesa-gesa, khusyu’ dan mematuhi rukun dan syarat yang terkait dengan ibadah tersebut. Karena, pada hakikatnya ibadah merupakan suatu sarana bagi terjalinnya hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Ketiga, sabar dari mengerjakan perbuatan maksiat (ash-shabr ‘anil ma’shiyah). Kesabaran bila berhadapan dengan perbuatan maksiat tercermin dari sikap mengendalikan dan menghindarkan diri dari perbuatan maksiat tersebut dengan penuh hati-hati dan waspada. Sabar terhadap keinginan berbuat maksiat adalah menjaga kesucian diri (iffah). Kecenderungan dan daya tarik berbuat maksiat itu biasanya jauh lebih kuat daripada motivasi untuk berbuat kebaikan. Kesabaran dalam konteks ini termanifestasi dalam upaya mengendalikan diri agar jangan sampai terjerumus ke lembah nista dan maksiat itu.

Label:

OPTIMIS SIKAP HIDUP MUSLIM

OPTIMIS SIKAP HIDUP MUSLIM
Oleh : Drs. EFRINALDI, M.Ag.

KETIKA Nabi Yunus AS diutus Allah SWT mengembangkan agama ke kota Ninewa, di pantai Barat bagian Utara benua Afrika, dalam historisitas Islam tercatat hanya 2 orang yang mau beriman setelah berusaha selama 33 tahun. Kedua orang pengikut Nabi Yunus AS itu bernama Rubil dan Tanukh, padahal penduduk kota Ninewa pada waktu itu tidak kurang dari 200.000 orang.[i] Melihat realitas ini lantas Nabi Yunus AS kecewa sekali. Di saat rasa kecewa itu memuncak tinggi ia lalu melarikan diri. Tuhan tidak menyukai sikap putus asa, sehingga Nabi Yunus AS akhirnya mendapat “hukuman” yang membuatnya sadar. Sewaktu ia kembali lagi ke kota Ninewa ternyata situasi telah berubah. Penduduk yang pada mulanya engkar telah bersikap patuh dan taat, sehingga setiap ajakan dakwah Nabi Yunus AS diterima dengan terbuka dan senang hati.
Umat Islam dilarang berputus asa. Dalam hidup hendaklah optimis dalam berbagai aktifitas yang dilakukan. Firman Allah SWT: “Janganlah kamu berputus asa dalam mengharap rahmat Allah, sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan orang-orang kafir.” (QS. Yusuf /12: 87)
Sebagai orang yang beriman tidak mudah berputus asa, tidak gampang menyerah dan harus tahan banting, tabah dan tawakal. Di balik malam yang gelap pasti ada fajar menyingsing. Di balik pendakian mesti ada penurunan, makin panjang pendakian makin panjang pula penurunannya. Malam tetap berganti siang, hujan tetap bersilih panas.
Hidup dan kehidupan ini memang penuh dinamika. Laksana gelombang air laut, kadang-kadang datang ombak yang menghempas, gelombang yang dahsyat yang memporak-porandakan kapal yang sedang berlayar. Tatkala datang pasang surut air laut menjadi tenang. Di saat itu hanya ada alunan yang bergulung-gulung yang menambah indahnya pemandangan, sewaktu duduk di tepi pantai melihat ke laut lepas di kala senja ketika mentari turun di ufuk barat.
Firman Allah SWT:Maka sesungguhnya di samping kesulitan itu pasti ada kemudahan. Sesungguhnya di samping kesulitan pasti ada kemudahan. (QS.Al-Insyirah/94 : 5-6)
Orang Inggeris mengatakan,”How beautiful is victory,but how expensive.” (Alangkah indahnya kemenangan, tapi mahalnya bukan main). “There are no gains without pains.” (Tak ada yang dicapai, tanpa susah-payah). Misalnya, bak kata pepatah orang tua tempo doeloe, ”Jikalau menginginkan manisnya buah durian, harus berani terkena durinya. Ingin madunya lebah, mesti berani disengat lebah.”
Ada pula yang mengibaratkan hidup ini laksana roda pedati, sekali ke atas sekali ke bawah. Ketika di atas orang tertawa berderai, tetapi ketika di bawah badan terhimpit menangis dan menjerit bersedih hati, berpilu sendu bermandi waduk duka. Ibarat alunan musik yang iramanya turun-naik. Kalau irama musik itu datar saja, tentu tak enak didengar telinga. Begitu juga kalau hidup ini monoton saja juga tidak enak dan tidak ada keindahannya.

Hadapi Masalah dengan Petunjuk Allah
Memang dalam hidup ini manusia dihadapkan dengan berbagai kesulitan dan masalah. Ada masalah yang dapat diselesaikan sendiri, di samping ada masalah yang bisa didiskusikan dengan orang lain. Ada masalah yang bersifat personal, ada masalah dalam konteks sosial kemasyarakatan, di samping itu ada masalah yang lebih makro dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila menghadapi kesulitan janganlah mengira bahwa seluruh medan kehidupan hanya bertabur kesulitan dan masalah. Kesulitan itu sesungguhnya sangat berguna dan membuat nilai sesuatu bertambah tinggi. Emas menjadi mahal harganya bukan karena kuning warnanya tetapi karena sulit memperolehnya. Seandainya emas itu dapat dipungut seperti memungut puntung rokok, tentu emas tidak akan mempunyai harga sama sekali. Memang, indahnya hidup ini, karena memang ada tantangan dan kesulitan.
Begitulah hidup, begitulah dinamika di dunia. Andaikata tak ada iman, kesabaran dan keyakinan teguh kepada Allah SWT, akan mudah berputus asa. Dalam hidup ini orang yang beriman selalu optimis dan tidak akan berputus asa. Di balik pendakian mesti ada penurunan. Bukankah Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Dengan hidup yang penuh masalah ini, timbul berbagai aktifitas, lahir dinamika dan mobilitas. Hadapi masalah dengan petunjuk Allah. Memohon hidayah Allah di saat tertimpa musibah dan dirundung berbagai masalah, karena memohon hidayah Allah itu adalah kebiasaan Nabi SAW, sudah seyogianya menjadi bagian integral dalam kehidupan kita. Dengan demikian, dalam kesulitan dan cobaan yang dihadapi, hendaklah optimis dan tidak pesimis. Hidup kita akan aman dan damai dalam kekuatan Tuhan. Hidup kita selalu bersama-Nya, gerak-gerik kita selalu di dekat-Nya, sehingga jiwa kita tenang dan hati kita lapang. Apa yang dicita-citakan tercapai, yang diidam-idamkan tergapai. Rezeki kita dilapangkan oleh Allah, semoga kehidupan kita dimudahkan oleh Allah SWT. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Waladzikrullahi Akbar!
Ciputat, Thursday, 06222004.


[i]Abbas Hassan, Kenapa Nabi Muhammad Sangat Sehat, (Jakarta: Erna-Erni,1998), h.44.

Label:

MINANGKABAU 2020


MINANGKABAU 2020


(Sebuah Refleksi Futuristik)

Dalam “The Global Paradox”, John Naisbitt menangkap gejala bahwa di tengah proses globalisasi yang melanda dunia sekarang tumbuh kekuatan-kekuatan etnisitas dalam masyarakat bangsa. Semangat etnis Perancis Quebec tumbuh kuat di Kanada, kebangkitan suku etnis di ex-Uni Soviet, munculnya suku Croatia, Serbia, dan Bosnia di ex-Yugoslavia dan seterusnya. Seiring dengan gerak laju proses globalisasi, semakin gencar pula tumbuh kekuatan etnis yang ingin memelihara identitasnya di tengah proses uniformitas budaya global.
Kekuatan etnisitas yang muncul merupakan sesuatu yang lumrah. Sudah merupakan keharusan semangat zaman globalisasi untuk mengakomodasi etnisitas dalam rangka persatuan bangsa di tengah gerak laju proses globalisasi tersebut. Pengembangan etnisitas kedaerahan dipertautkan dengan nasionalisme bangsa.
Dalam hubungan ini masyarakat Minangkabau terlihat memiliki kekuatan etnisitas yang homogen. Watak etnisitas Minang bersifat inklusif, menerima secara terbuka unsur-unsur luar, dengan solidaritas berlapis-lapis. Fleksibelitas dalam perwatakan etnis Minang terimplementasi dalam sikap “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung”.
Perwatakan Minang sekilas terlihat sebagai prilaku oportunistik. Secara substantif, watak tersebut mencerminkan realisme bahwa manusia hidup dalam berbagai lingkaran kehidupan, seperti kehidupan pribadi, keluarga, suku, kampung, dan seterusnya. Seabagai masyarakat yang berbudaya merantau, dalam pola migrasi etnis ini, penegakan solidaritas menjadi unsur penting bagi kelanjutan hidup. Solidaritas global yang tercipta menjadi fondasi masyarakat Minang, terutama para perantau, dalam membantu sanak-keluarga di kampung halaman. Dengan demikian, prediksi John Naisbitt mengindikasikan bahwa secara positif saluran semangat etnisitas memang tumbuh semakin kuat mencuat dalam suasana ketunggalan bangsa dan globalisasi dunia di masa mendatang.

Adat dan Budaya Minangkabau
Dalam proses perubahan nilai dan struktur masyarakat di masa mendatang era 2020-an, perubahan itu akan semakin beralih ke arah terbentuknya suatu masyarakat dan tata-nilai yang baru. Masyarakat dan nilai-nilai subkultur Minangkabau pada satu pihak bisa merupakan subjek dari perubahan-perubahan itu, tapi pada pihak lain tidak terelakkan juga akan atau telah menjadi objek perubahan-perubahan.
Dalam menempati posisi sebagai objek perubahan-perubahan di masa depan, masyarakat Minangkabau harus mampu mempertahankan nilai-nilai budayanya yang esensial tanpa mengucilkan diri. Nilai tidak selalu terletak pada struktur dan sistem, tetapi juga dalam semangat dan pendekatan-pendekatan. Perubahan sistem bisa terjadi tapi jangan perubahan itu memupus nilai-nilai yang esensial.
Sebaliknya, dalam menempati posisi sebagai subjek perubahan, masyarakat Minangkabau harus mampu menempatkan dan memberi makna secara lebih luas dan langgeng nilai-nilai adat dan budayanya, sehingga akhirnya nilai-nilai tersebut akan tetap relevan dalam mengahadapi tantangan masyarakat budayanya sendiri dan masyarakat budaya lain. Nilai-nilai tersebut tidak secara otomatis muncul dan dapat disumbangkan hanya melalui sesuatu yang verbalis, tetapi mesti melalui pendeskripsian dan analisis yang mendalam melalui kaitan kajian kemasyarakatan.
Masyarakat Minang memang merupakan masyarakat yang tribal, bersuku-suku, demokratis, fraternalistis, dan desentralistis. Kekuasaan di Minangkabau terdapat di nagari-nagari (republik-republik kecil di desa). Kekuasaan dibagi secara fungsional: ninik-mamak mengurus adat, alim-ulama mengurus agama, cerdik-pandai mengurus masalah keduniawian, dan manti/dubalang menguus keamanan nagari.
Bagi masyarakat Minang, alam terkembang dijadikan guru. Ini memperlihatkan bahwa semua unsur alam memiliki peranan masing-masing dan saling berhubungan. Keselarasan dalam masyarakat tidak terdapat dalam tingkatan-tingkatan, tetapi pada hubungan dalam eksistensi masing-masing. Perbedaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosialnya akan tetapi oleh fungsinya. Saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tetapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok tetapi tidak saling meleburkan.
Keselarasan dalam tatanan adat dan budaya Minangkabau tidaklah suatu jagad yang hirarkis, tetapi adalah sebuah mozaik. Setiap unsur jagad berdiri dengan perannya yang berlainan hadir dalam suatu harmoni. Dalam abad milenium ini, masyarakat Minang yang konsisten dengan adat dan budayanya yang orisinil akan tetap survive dengan peran dan fungsinya yang selaras.
Orang Minangkabau menyebut masyarakatnya dengan Alam Minangkabau dan menyebut kebudayaannya dengan Adat Minangkabau. Penyebutan yang demikian menunjukkan bahwa orang Minangkabau melihat diri dan masyarakat sebagai bagian dari alam, maka hukum-hukum alam yang ada juga berlaku bagi masyarakat Minangkabau. Dasar filsafat mereka menunjukkan: alam terkembang jadi guru.
Menurut sifat dasarnya memang adat Minangkabau terdiri dari dua jenis. Pertama, adat yang berbuhul mati. Adat ini tidak akan berubah, tidak mungkin dungkai. Pepatah Minangkabau mengatakan bahwa adat “tak lekang dek (oleh) panas dan tak lapuk dek hujan.” Adat yang berbuhul mati ini terbagi atas adat yang sebenarnya adat, yaitu seluruh hukum dan sifat alam; dan adat yang diadatkan , yaitu seluruh ajaran dari pendiri dan permus adat Minangkabau, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Kedua, adat yang berbuhul sentak. Adat ini merupakan penjabaran dari adat yang berbuhul mati. Rumusan dari penjabaran itu dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah menghasilkan norma-norma, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga.
Kemudian dalam menyusun ajaran tersebut kedua Datuk berpegang kepada adat nan sebenarnya adat, kepada sifat dan hukum-hukum alam. Proses itulah yang disebut alam terkembang jadi guru.
Pada dasarnya filosofi “alam terkembang jadi guru” ini merupakan cerminan bahwa orang Minangkabau tidak akan pernah kehilangan tongkat. Tongkat itu bisa jadi ilmu, sedang ilmu muaranya adalah kebenaran. Alam merupakan seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pengalaman dan kondisi ketika dihirupnya alam itu. Jadi, kultur Minangkabau tidak akan mati, jika orang Minang masih berguru kepada alam.
Seandainya orang Minang lari dari budayanya, namun ia sangat mudah untuk kembali, meskipun ia telah mengambil atau melahirkan kultur baru yang tidak sesuai dengan kulturnya. Dalam realitas, orang Minang ternyata tidak pernah lari dari kulturnya. Dengan kata kunci, “kembali berguru ke alam”, perubahan itu dapat dilakukan dengan putaran maksimal, spontan atau revolusi.
Pada prinsipnya, adat Minangkabau bersifat terbuka dalam menghadapi perubahan-perubahan. Dari dimensi adat yang berbuhul mati, yang secara holistik merupakan adat yang tak bisa diubah, yang bersumber dari sifat dan hukum alam. Sementara sifat dan hukum alam itu sendiri adalah kefanaannya dan keterbukaannya terhadap perubahan-perubahan. Adat yang berbuhl sentak, adat yang bisa diubah, sebagai penjabaran dari adat yang bisa diubah berdasarkan masyawarah.
Sendi adat yang demikian menyebabkan masyarakat Minangkabau menjadi sangat terbuka. Kritik korektif dan konstruktif terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak benar justru datang oarang-orang Minangkabau sendiri. Daya perubahan ke arah pembaruan suatu kebudayaan, seperti dikatakan Sudjatmoko (1983) berakar kepada vitalitas kebudayaan itu sendiri. Modernitas di dalam adat atau kebudayaan Minangkabau di masa depan, tidak hanya lahir oleh sesuatu yang berasal dari luar, tetapi juga ditentukan oleh apa yang ada di dalam adat atau tradisi Minangkabau. Tradisi harus tetap baru, dan kebenaran adalah bagian dari tradisi itu sendiri.
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang sangat cepat di masa datang, peralihan masyarakat dan kebudayaan yang agraris ke masyarakat dan kebudayaan industri dan informasi memang mengharuskan terjadinya proses aktualisasi ajaran-ajaran adat Minangkabau dan diciptakannya atau diaksentuasikan idom-idiom baru dari ajaran-ajaran adat tersebut. Suatu proses perubahan masyarakat dan kebudayaan sedang dan akan terjadi di dalam masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Proses perubahan itu bersifat substansial. Dalam menghadapi proses perubahan itu tidak bersikap lari ke masa silam, tapi bersikap jernih dan realistis.
Memang, pada hakekatnya adat Minangkabau selama ini adalah produk dari “alam Minangkabau” yang agraris. Masyarakat dan kebudayaan modern menunjukkan perkembangan ke arah masyarakat industri dan masyarakat informasi menuju suatu proses globalisasi. Segmen masyarakat tersebut bernuansa sesuai dengan karakteristiknya.
Kemiskinan dan kesenjangan sosial akan merupakan tantangan utama dalam perkembangan masyarakat mendatang, sesuatu yang di dalam masyarakat agraris Minangkabau tidak begitu menjadi persoalan. Di dalam masyarakat Minangkabau yang agraris, masalah itu bisa diselesaikan dan menjadi tanggung jawab rumah-tangga. Di dalam Minangkabau agraris tanah akan menjadi modal utama. Di dalam masyarakat industri yang menjadi persoalan bukan lagi tanah tapi adalah modal itu sendiri, sedang dalam masyarakat informasi yang diperlukan adalah keahlian. Persoalan-persoalan itu tidak hanya bisa ditanggulangi dan menjadi tanggung jawab rumah tangga. Permaslahan harus dipecahkan secara global.
Masalah modal, keahlian, dan penguasaan tekonologi merupakan permasalahan pendidikan yang akan menentukan di dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan saat ini dan di masa-masa mendatang. Kualitas manusia menjadi amat menentukan dalam menghadapi dan merebut masa depan yang lebih baik.

Nilai-nilai Religiusitas dan Tatanan Adat Minangkabau
Dalam beberapa dasawarsa mendepan, dinamisasi syara’ (nilai-nilai religiusitas) dalam adat Minangkabau akan tetap sangat berpengaruh. Kenyataan ini terlihat dalam falsafah ajaran “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.” Permasalahan-permaslahan yang dihadapi sebagai konsekwensi logis dari dinamika perubahan sosial yang makin cepat, secara operasional masyarakat Minang akan bertumpu pada filosofi tersebut. Ajaran itu jangan hanya sekedar slogan, tetapi sudah seyogianya menjadi dinamisator dan motivator dalam dinamisasi masyarakat di masa-masa mendatang. Kualitas manusia dengan SDM yang handal merupakan keyword untuk menyongsong masa depan. Idiom-idiom baru dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran adat Minangkabau tetap sangat signifikan.
Falsafah hidup masyarakat Minangkabau tetap “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.” Orang Minangkabau merasa bahwa falsafah hidup itu merupakan warisan budaya yang amat berharga dan mesti dipelihara. Dengan falsafah hidup itu, masyarakat Minang juga merasa bahwa mereka “lain” dari masyarakat mana pun.
Falsafah itu sekaligus sebagai pembentuk identitas dan menjadi rujukan dari setiap tingkah laku masyarakat Minangkabau. Setiap aktifitas, prakarsa, dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan falsafah adat tersebut. Namun, sudah seyogianya falsafah itu tidak terbatas hany berfungsi sebagai filter atau sebagai rambu-rambu saja, tetapi lebih jauh juga harus mampu berperan sebagai sumber kreatifitas, sumber elan-vital, dan motivator dari proses dinamisasi masyarakat.
Kalau peran itu yang dikedepankan, maka orientasi adat tidak lagi hanya ke masa lalu, tetapi jauh ke masa depan. Dengan peran itu akan mampu menjelaskan dan menjawab fenomena-fenomena kebudayaan dan tantangan-tantangan masa depan sebagai implikasi dan konsekuensi dari perubahan dan perkembangan kebudayaan itu. Dengan demikian ajaran adat akan tetap aktual, tidak akan menjadi usang.
Dinamika dan fleksibelitas perkembangan Islam ditandai dengan pola “bi al-hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah.” Ini menimbulkan daya tarik tesendiri bagi para fungsionaris adat. Basis-basis Islam makin kuat di Minangkabau. Faktor utama penyebabnya karena “pada hakekat ajaran-ajaran yang dianut oleh agama Islam tidaklah merupakan ajaran yang bertentangan dengan adat Minangkabau, yang berdasarkan kepada budi pekerti yang baik…” (Harian Pelita, 9 Maret 1982).
Tatanan adat Minangkabau banyak diwarnai oleh syari’at Islam. Mochtar Naim (1968) mengatakan,”…sehingga kalau kita menyelidiki adat-istiadat Minangkabau, atau kebudayaan Minangkabau, kita akan melihat betapa usaha-usaha orang Minangkabau agar agamanya mempengaruhi adatnya.
Perpaduan pola agama dan ketentuan adat itu mengejawantah menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat dalam melahirkan karya, cipta, dan karsa. Tegasnya, adat dan agama telah menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau. Karena inilah Minangkabau terkenal dengan agamanya yang kuat dan adatnya yang kokoh.
Selama ini orang Minangkabau hidup harmonis di bawah payung kebesaran Minangkabau yang terpatri lewat adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas. Hendaknya, pondasi keyakinan adat dan agama orang Minangkabau, yang kalau diibaratkan seperti “baja” yang tak akan lapuk oleh hujan dan tak akan lekang disinari panas, tidak berkarat hanya diterpa panas-dinginnya suhu kehidupan budaya, ekonomi, sosial-politik, dan pertahanan-keamanan.
Sesuai dengan stelsel matrilineal yang dipangku oleh masyarakat Minangkabau, birokrasi kehidupan sebenarnya dikendalikam oleh ketiga fungsional adat, tigo tali sapilin, tigo tungku sajarangan tersebut di atas: ninik-mamak, alim-ulama, dan cerdik-pandai, serta urusan “kaum pemilik rumah gadang” dikomandoi oleh bundo kanduang.
Ketiga komponen itu bahu-membahu menentukan gerak maju kehidupan masyarakat di masa depan dalam pelaksanaan pembangunan maupun menentukan langkah-langkah perencanaan pembangunan dalam arti yang luas. Sistem dan struktur masyarakat Minangkabau secara fungsional memerlukan persyaratan kualitatif dari unsur kerangka tiga tali sepilin tiga tungku sejarangan, hukum adat, kaidah agama, dan peraturan menjadi satu-kesatuan pilihan hukum masyarakat Minangkabau.
Dari sudut behavioral lembaga adat tersebut sudah lama tidak berfungsi menurut semestinya. Eksistensi fungsionaris adat yang legitimate, secara sadar telah bergeser oleh faktor-faktor internal maupun faktor-faktor eksternal. Wajah Minangkabau yang seyogianya terimplementasi dari gaya hidup dan problematika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Minangkabau itu sendiri. Berbagai peristiwa “sensasional” membawa masyarakat Minangkabau ke penjelejahan identitas atau jati diri baru di atas jati diri lama yang boleh disebut sudah “tercabik-cabik”.
Unsur raso jo pareso, raso yang berpangkal dari hati nurani terjelma melalui budi pekerti, dan pareso yang dilandasi oleh pikiran dan pertimbangan-pertimbangan yang menjadi prinsip dasar tindak kerja (perbuatan) masyarakat Minangkabau kini terkadang terinfiltrasi oleh berbagai kepentingan yang subjektif.
Oleh karena itu, jika Islam mempengaruhi tatanan adat secara mendasar, maka keyakinan akan adanya kekuatan transendental tetap menimbulkan darah baru (new blood) dalam denyut-nafas dinamika tatanan adat. Falsafah adat yang banyak didasarkan pada pikiran dan rasa menjadi sempurna diwarnai oleh keyakinan agama.
Syara’ memberi warna baru bagi falsafah adat. Hal ini dapat dianlisis dalam pepatah: “iduik baraka, mati beriman” (hidup berakal, mati beriman). Pepatah adat yang sebelumnya hanya mengungkap, di waktu mati manusia meninggalkan nama baik, disempurnakan oleh syara’ dengan pentingnya amal saleh selama hidup di dunia untuk kehidupan akhirat, ke masa depan yang lebih jauh di balik kehidupan dunia ini.
Atas dasar ini, masyarakat akan berusaha mengidentifikasi tingkah laku dan kebiasaan yang telah membudaya kepada sendi-sendi syara’. Dasar-dasar adat tetap hidup dan dipelihara dengan diberi warna oleh nilai-nilai religiusitas Islam.
Kultur, Alam, dan SDM Minangkabau Mendatang
Pusat-pusat kebudayaan Minangkabau di masa depan akan mengalami perubahan. Pusat kebudayaan yang dalam sejarah bisa didapati di rumah-rumah gadang dan sasaran-sasaran (gelanggang atau medan) yang menjadi milik kaum, surau dan madrasah, di masa depan nuansa akademis akan menonjol dalam pusat studi budaya Minangkabau di lembaga-lembaga yang independen, selain di Pemerintahan Daerah, beberapa universitas, dan lembaga-lembaga lain. Untuk mendapatkan ilmu dan beroleh kemajuan, berkembang pula suatu tradisi merantau gaya baru. Orang pergi bermigrasi meninggalkan kampung halamannya—sebagaimana yang sudah menjadi tradisi—untuk studi dan makin gencar menuntut ilmu. Pusat-pusat kebudayaan tidak lagi hanya berada di Minangkabau saja.
SDM orang-orang Minang yang beroleh pendidikan di pusat-pusat kebudayaan di luar alam Minangkabau akan kembali melakukan perenungan yang kreatif yang bersikap kritis terhadap alam dan adat Minangkabau. Sekitar tiga dasawarsa sebelum ini, muncul novel-novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan sejumlah novel Balai Pustaka lainnya yang mempersoalkan adat, di masa depan akan lebih gencar lagi, tetapi dalam upaya mengadaptasi nilai-nilai adat dengan kebudayaan era 2020.
Perenungan yang kreatif terhadap tradisi bukan saja akan menghasilkan agenda tindakan, tetapi juga kontrol sampai di mana perubahan itu harus berjalan. Seandainya suatu perubahan tanpa diinginkan terjadi, maka perubahan itu akan dilihat sedemikian rupa sehingga bukan saja secara kultural bisa dimengerti, tetapi juga pengadaptasiannya ke dalam perbendaharaan kultural yang tidak merusak.
Sumatera Barat memang adalah daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang kaya melimpah. Berbagai sumber mineral yang dimilikinya terbatas dan dangkal. Secara geologis daerah ini terapung di atas lempeng tektonis yang rawan gempa. Kawasan pertanian yang datar terbatas dihimpit oleh Bukit Barisan dan pantai yang sempit. Jika pembangunan daerah semata didasarkan pada pertanian tradisional yang bertumpu pada air dan tanah, kemungkinan menaikkan pendapatan penduduk menjadi terbatas. Ini menyebabkan kenapa penduduk miskin masih terdapat banyak di daerah ini.
Keadaan itu juga menjelaskan mengapa kebanyakan penduduk mencari nafkahnya dalam menjual jasa, seperti dalam sektor perdagangan, restoran, sebagai pegawai negeri, dan intelektual. Sifat pekerjaan menjual jasa seperti itu tidak punya akar (foot loose) sehingga bisa berkembang di perantauan.
Dua kelompok masyarakat kemudian tumbuh dan berkembang. Ada sebagian yang tinggal di kampung dengan tingkat kebudayaan yang terbatas. Adapula sebagian yang merantau dan untuk survive diharuskan bekerja, belajar, dan berusaha keras. Tantangan pengembangan masyarakat ke depan era 2020 adalah mengembangkan sinergi antara dua kelompok masyarakat ini sambil menumbuhkan solidaritas etnis.
Pada dasarnya masyarakat Minang adalah captive market yang bisa diandalkan. Perkembangan budaya dalam masyarakat juga menanamkan pendekatan baru dalam pembangunan yakni knowledge based development. Pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan nilai tambah yang dihasilkan berkat penerapan ilmu pengetahuan.
Dalam aspek ini terbuka masa depan yang cerah bagi pembangunan daerah Sumatera Barat. Daerah ini memiliki ratusan cendikiawan yang bertitel Ph.D dan ribuan lagi bertitel sarjana. Ilmu yang dimiliki para lulusan perguruan tinggi ini perlu ditransformasikan menjadi kesempatan menghasilkan nilai tambah atas sumber daya alam atau bahan yang diimpor dari luar.
Sumatera Barat memang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah. Akibat keadaan geografi yang miskin sumber mineral, akibat sejarah yang menempatkan Sumatera Barat sebagai daerah yang pernah “nakal” membangkang terhadap Pusat, dan efek dari perkembangan nuansa pendidikan yang gandrung religius dengan rasonalitas, tumbuh masyarakat Minang yang bisa menjadi modal sosial yang memberikan dharma-baktinya tidak hanya pada daerah Sumatera Barat, tetapi juga pada daerah-daerah lain di seantero tanah air melalui kehadiran para perantaunya. Sumatera Barat memerlukan antisipasi atau terobosan yang jitu menuju masa depan yang menjanjikan. Dengan pemilikan terhadap sumber daya manusia dengan keterampilan dan keilmuan di masa depan, kalau ini dipertahankan akan makin tetap eksis. Bahan baku dan sumber daya alam bisa dimasukkan dari daerah lain dan dengan sentuhan tenaga manusia yang memiliki ilmu dan teknologi di Sumatera Barat bisa dikembangkan nilai tambah atas bahan baku yang diimpornya.
Pola pembangunan Singapura yang menekankan skill sebagai pembangkit nilai tambah terhadap sumber daya alam yang diimpornya dari negara lain menjadi contoh model pembangunan yang bisa ditempuh Sumatera Barat.
Segala usaha yang berbasis pengetahuan hasil otak manusia perlu dikembangkan sebagai pemicu pembangunan daerah, seperti restoran, perdagangan, pariwisata, kesehatan, pendidikan, agama, dan lain-lain. Hakikat pokok strategi pembangunan Sumatera Barat perlu bertmpu pada human skill and knowledge based development.
Sumatera Barat di masa depan akan dapat tampil menjadi sentra pendidikan, pengembangan agama, electronic commerce, ekonomi bar
u, budaya dan aktifitas lain yang mengandalkan ilmu pengetahuan. Ringkasnya, “industri otak” bisa menjadi sangat dominan mempengaruhi pembangunan Sumatera Barat masa depan.

Bibliografi
Chandra, Ade, dkk., Minangkabau dalam Perubahan. Padang: Yasmin Akbar, 2000.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti 1984.
Naim, Mochtar, Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara. Bukittinggi: Panitia Seminar, 1980.
Norman, Colin, Technology Transfer: Its Impact on Third World Employment. Washington DC: Worldwatch Institute, 1978.
Sudjatmoko. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1983.







Label:

SOSOK DAN KEPRIBADIAN RASULULLAH


SOSOK DAN KEPRIBADIAN RASULULLAH SAW
Oleh : Drs. EFRINALDI, M.Ag.


MAULID Nabi Muhammad SAW merupakan suatu peristiwa yang monumental dan sarat dengan nilai-nilai historis. Memperingati dan menelusuri napak tilas kehidupan Rasulullah SAW selalu berkaitan dengan perjuangan dan penderitaan Nabi yang suci itu. Ketabahan beliau dalam perjuangan dan kesabarannya menghadapi segala penderitaan memancarkan sosok dan kepribadian dengan akhlak yang mulia.
Menguak butiran-butiran hikmah dalam historisitas Islam, tampak Nabi Muhammad SAW mengalami banyak tantangan dan rintangan dakwah pada mula penyiaran Islam di kota Mekkah. Dalam tempo tiga tahun pertama, beliau hanya memperoleh 13 orang pengikut. Dalam rentang tahunan, kurang dari lima orang yang memeluk Islam. Meskipun realitas demikian sulit, Nabi SAW tidak pernah mengeluh, apalagi sampai berputus asa. Justru pada saat-saat beliau menghadapi kesulitan dan penderitaan yang tiada hentinya, memancarkan al-akhlaqul karimah (akhlak yang mulia).
Dalam suatu hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,”Aku diutus Allah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.” (HR Baihaqi).

ESENSI AKHLAK
Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Turmudzi dari Abu Dzar pernah berwasiat kepada seorang sahabat untuk selalu bertaqwa kepada Allah di manapun berada, berupaya menghapus perbuatan jahat dengan amal kebaikan, serta berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik. Inilah kunci sukses dalam pergaulan sosial.
AKHLAK berasal dari kata khalaqa, yakhluqu, yang berarti menciptakan. Dari kata ini ada kata makhluk dan Khalik. Dengan demikian, akhlak secara esensial merupakan segala sikap (attitude) dan tingkah laku (actions and deeds) manusia Muslim yang bersumber dari Sang Khalik, yakni mengacu kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam konteks ini, akhlak memiliki diferensiasi (perbedaan) dengan moral dan etika. Moral yang berasal dari bahasa Latin (moras), berarti adat kebiasaan. Demikian juga etika, dari bahasa Yunani (ethos) dan bahasa Belanda (ethiek). Moral dan etika tidak mengacu pada nilai-nilai religius, bahkan agama dianggap sebagai paham pribadi dan tidak berhubungan dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, ketentuan nilai moral dan etika bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, karena kreasi manusia, bukan dari Sang Pencipta.
KETELADANAN RASULULLAH SAW
Dalam kehidupan Rasulullah terdapat keteladanan dari dimensi akhlak dan contoh yang ideal bagi seluruh umat manusia dalam segala bidang kehidupan. Beliau satu-satunya manusia yang melaksanakan sendiri semua prinsip yang diajarkannya kepada orang lain. Tidak ada satu penetapan atau ketentuanpun dari al-Qur’an yang tidak dilaksanakannya.
Pada hakikatnya akhlak Rasulullah merupakan pancaran dari ajaran-ajaran al-Qur’an. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Setiap perbuatan baik (al-ma’ruf) yang diperintahkan al-Qur’an dan setiap perbuatan jahat (al-munkar) yang dilarang, terlebih dahulu telah dipraktekan Rasullah sendiri sebagai teladan bagi umatnya.
SOSOK MUHAMMAD tampil sebagai seorang Rasulullah, negarawan, panglima perang, pejuang, hakim, pedagang, bahkan sebagai pelarian yang diburu-buru, sahabat, teman seperjuangan, seorang ayah, dan sebagai seorang suami. Dalam semua kedudukannya itu selalu memantulkan corak yang indah dalam kehidupan manusia.
Beberapa watak dan kepribadian Rasulullah yang sangat terkenal semasa hayatnya, dapat disingkap berikut ini. Pertama, sifat amanah dan menepati janji (QS. Al-Nisa’ : 58). Rasulullah semasa hayatnya bersifat amanah dan selalu menepati janji atau perjanjian (agreement) yang disepakati meski dengan musuh sekalipun. Perjanjian yang telah disepakati walau kemudian merugikan tetap dipenuhinya terlebih dahulu, meski selanjutnya diupayakan ada perubahan dengan persetujuan pihak yang terkait.
Kedua, bersikap jujur dan terpercaya (QS. Al-Mukminun: 8 dan Al-Isra’ : 35). Rasulullah dalam dinamika sejarah dikenal dengan kejujurannya, sehingga beliau dijuluki dengan al-amin (orang yang dapat dipercaya). Kejujuran beliau mencuat dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hubungannya dengan kawan maupun lawan.
Ketiga, berlaku adil (QS. Al-Nahl: 90 dan Al-Maidah: 8). Rasulullah SAW selalu bersikap dan berlaku adil di kalangan manusia, baik kawan maupun lawan, dalam pelbagai situasi. Rasulullah SAW membuktikannya dalam sejarah dengan penuh adil dan bijaksana.
Keempat, semangat pengorbanan (QS. Al-Insan: 8-9 dan Al-Hasyr: 9). Pengorbanan merupakan salah satu watak dan kepribadian Rasulullah yang dinukil dalam sejarah. Meski rintangan dan tantangan dakwah luar biasa hebatnya, beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun. Ketabahan beliau dalam perjuangan dan kesabarannya menghadapi segala penderitaan yang tiada taranya memancarkan sifat-sifat yang utama dan akhlaq yang mulia.
Waladzikrullahi Akbar! (Ciputat, Thursday, 04142005)

Label:

SOSOK DAN KEPRIBADIAN RASULULLAH

SOSOK DAN KEPRIBADIAN RASULULLAH
Oleh : DR. EFRINALDI, M.Ag.


Pada bulan Rabiul Awal ini umat Islam di berbagai belahan dunia tengah memperingati suatu peristiwa yang penuh dengan nilai-nilai historis, yakni Maulid Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan menelusuri napak tilas kehidupan Rasulullah SAW amat mulia karena perjalanan hidup beliau mengandung peristiwa yang monumental dan mengandung beragam hikmah, yang kerap berkaitan dengan perjuangan dan penderitaan Nabi yang suci itu. Ketabahan beliau dalam perjuangan dan kesabarannya menghadapi segala penderitaan memancarkan sosok dan kepribadian dengan akhlak yang terpuji.
Menguak butiran-butiran hikmah dalam historisitas Islam, tampak Nabi Muhammad SAW mengalami banyak tantangan dan rintangan dakwah pada mula penyiaran Islam di kota Mekkah. Dalam tempo tiga tahun pertama, beliau hanya memperoleh 13 orang pengikut. Dalam rentang tahunan, kurang dari lima orang yang memeluk Islam pada fase awal penyiaran Islam. Meskipun realitas demikian sulit, kal itu kaum Muslimin dalam kedudukan minoritas dan kondisi fisikal yang amat lemah, Nabi SAW tidak pernah mengeluh, apalagi sampai berputus asa. Justru pada saat-saat beliau menghadapi kesulitan dan penderitaan yang tiada hentinya, memancarkan al-akhlaqul karimah (akhlak yang mulia).
Dalam suatu hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,”Aku diutus Allah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.” (HR Baihaqi).
ESENSI AKHLAK
Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Turmudzi dari Abu Dzar pernah berwasiat kepada seorang sahabat untuk selalu bertaqwa kepada Allah di manapun berada, berupaya menghapus perbuatan jahat dengan amal kebaikan, serta berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik. Inilah kunci sukses dalam pergaulan sosial.
AKHLAK berasal dari kata khalaqa, yakhluqu, yang berarti menciptakan. Dari kata ini ada kata makhluk dan Khalik. Dengan demikian, akhlak secara esensial merupakan segala sikap (attitude) dan tingkah laku (actions and deeds) manusia Muslim yang bersumber dari Sang Khalik, yakni mengacu kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam konteks ini, akhlak memiliki diferensiasi (perbedaan) dengan moral dan etika. Moral yang berasal dari bahasa Latin (moras), berarti adat kebiasaan. Demikian juga etika, dari bahasa Yunani (ethos) dan bahasa Belanda (ethiek). Moral dan etika tidak mengacu pada nilai-nilai religius, bahkan agama dianggap sebagai paham pribadi dan tidak berhubungan dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, ketentuan nilai moral dan etika bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, karena kreasi manusia, bukan dari Sang Pencipta.

KETELADANAN RASULULLAH SAW
Dalam kehidupan Rasulullah terdapat keteladanan dari dimensi akhlak dan contoh yang ideal bagi seluruh umat manusia dalam segala bidang kehidupan. Beliau satu-satunya manusia yang melaksanakan sendiri semua prinsip yang diajarkannya kepada orang lain. Tidak ada satu penetapan atau ketentuanpun dari al-Qur’an yang tidak dilaksanakannya.
Pada hakikatnya akhlak Rasulullah merupakan pancaran dari ajaran-ajaran al-Qur’an. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Setiap perbuatan baik (al-ma’ruf) yang diperintahkan al-Qur’an dan setiap perbuatan jahat (al-munkar) yang dilarang, terlebih dahulu telah dipraktekan Rasullah sendiri sebagai teladan bagi umatnya.
SOSOK MUHAMMAD tampil sebagai seorang Rasulullah, negarawan, panglima perang, pejuang, hakim, pedagang, bahkan sebagai pelarian yang diburu-buru, sahabat, teman seperjuangan, seorang ayah, dan sebagai seorang suami. Dalam semua kedudukannya itu selalu memantulkan corak yang indah dalam kehidupan manusia.
Beberapa watak dan kepribadian Rasulullah yang sangat terkenal semasa hayatnya, dapat disingkap berikut ini. Pertama, sifat amanah dan menepati janji. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. Al-Nisa’ : 58). Dalam ayat lain: “Wahai orang-orang yang beriman tepatilah janji-janjimu.” (QS. Al-Maidah: 1). Rasulullah semasa hayatnya bersifat amanah dan selalu menepati janji atau perjanjian (agreement) yang disepakati meski dengan musuh sekalipun. Perjanjian yang telah disepakati walau kemudian merugikan tetap dipenuhinya terlebih dahulu, meski selanjutnya diupayakan ada perubahan dengan persetujuan pihak yang terkait.
Kedua, bersikap jujur dan terpercaya. Firman Allah: “Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman...yaitu orang-orang yang jujur dalam memelihara amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mukminun: 1 dan 8). Betapa pentingnya sikap kejujuran itu, terdeskripsi pula dalam QS. Al-Isra’ : 35. Rasulullah dalam dinamika sejarah dikenal dengan kejujurannya, sehingga beliau dijuluki dengan al-amin (orang yang dapat dipercaya). Kejujuran beliau mencuat dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hubungannya dengan kawan maupun lawan.
Ketiga, berlaku adil. Firman Allah: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan” (QS. Al-Nahl: 90). Rasulullah SAW selalu bersikap dan berlaku adil di kalangan manusia, baik kawan maupun lawan, dalam pelbagai situasi. Rasulullah SAW membuktikannya dalam sejarah dengan penuh adil dan bijaksana.
Keempat, semangat pengorbanan. Allah berfirman: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan orang-orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah semata. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS. Al-Insan: 8-9). Pengorbanan merupakan salah satu watak dan kepribadian Rasulullah yang dinukil dalam sejarah. Meski rintangan dan tantangan dakwah luar biasa hebatnya, beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun. Ketabahan beliau dalam perjuangan dan kesabarannya menghadapi segala penderitaan yang tiada taranya memancarkan sifat-sifat yang utama dan akhlaq yang mulia.


___________________

Label:

SOSOK DAN KEPRIBADIAN

SOSOK DAN KEPRIBADIAN RASULULLAH SAW



Mengkaji sosok Rasulullah Muhammad SAW amat mulia karena perjalanan hidup beliau mengandung peristiwa yang monumental dan sarat dengan nilai-nilai historis. Memperingati dan menelusuri napak tilas kehidupan Rasulullah SAW selalu berkaitan dengan perjuangan dan penderitaan Nabi yang suci itu. Ketabahan beliau dalam perjuangan dan kesabarannya menghadapi segala penderitaan memancarkan sosok dan kepribadian dengan akhlak yang terpuji.
Menguak butiran-butiran hikmah dalam historisitas Islam, tampak Nabi Muhammad SAW mengalami banyak tantangan dan rintangan dakwah pada mula penyiaran Islam di kota Mekkah. Dalam tempo tiga tahun pertama, beliau hanya memperoleh 13 orang pengikut. Dalam rentang tahunan, kurang dari lima orang yang memeluk Islam. Meskipun realitas demikian sulit, Nabi SAW tidak pernah mengeluh, apalagi sampai berputus asa. Justru pada saat-saat beliau menghadapi kesulitan dan penderitaan yang tiada hentinya, memancarkan al-akhlaqul karimah (akhlak yang mulia).
Dalam suatu hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,”Aku diutus Allah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.” (HR Baihaqi).

A. Esensi Akhlak
Rasulullah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Turmudzi dari Abu Dzar pernah berwasiat kepada seorang sahabat untuk selalu bertaqwa kepada Allah di manapun berada, berupaya menghapus perbuatan jahat dengan amal kebaikan, serta berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik. Inilah kunci sukses dalam pergaulan sosial.
AKHLAK berasal dari kata khalaqa, yakhluqu, yang berarti menciptakan. Dari kata ini ada kata makhluk dan Khalik. Dengan demikian, akhlak secara esensial merupakan segala sikap (attitude) dan tingkah laku (actions and deeds) manusia Muslim yang bersumber dari Sang Khalik, yakni mengacu kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam konteks ini, akhlak memiliki diferensiasi (perbedaan) dengan moral dan etika. Moral yang berasal dari bahasa Latin (moras), berarti adat kebiasaan. Demikian juga etika, dari bahasa Yunani (ethos) dan bahasa Belanda (ethiek). Moral dan etika tidak mengacu pada nilai-nilai religius, bahkan agama dianggap sebagai paham pribadi dan tidak berhubungan dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, ketentuan nilai moral dan etika bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, karena kreasi manusia, bukan dari Sang Pencipta.

B. Keteladanan Rasulullah Saw
Dalam kehidupan Rasulullah terdapat keteladanan dari dimensi akhlak dan contoh yang ideal bagi seluruh umat manusia dalam segala bidang kehidupan. Beliau satu-satunya manusia yang melaksanakan sendiri semua prinsip yang diajarkannya kepada orang lain. Tidak ada satu penetapan atau ketentuanpun dari al-Qur’an yang tidak dilaksanakannya.
Pada hakikatnya akhlak Rasulullah merupakan pancaran dari ajaran-ajaran al-Qur’an. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Setiap perbuatan baik (al-ma’ruf) yang diperintahkan al-Qur’an dan setiap perbuatan jahat (al-munkar) yang dilarang, terlebih dahulu telah dipraktekan Rasullah sendiri sebagai teladan bagi umatnya.
SOSOK MUHAMMAD tampil sebagai seorang Rasulullah, negarawan, panglima perang, pejuang, hakim, pedagang, bahkan sebagai pelarian yang diburu-buru, sahabat, teman seperjuangan, seorang ayah, dan sebagai seorang suami. Dalam semua kedudukannya itu selalu memantulkan corak yang indah dalam kehidupan manusia.
Beberapa watak dan kepribadian Rasulullah yang sangat terkenal semasa hayatnya, dapat disingkap berikut ini. Pertama, sifat amanah dan menepati janji (QS. Al-Nisa’ : 58). Rasulullah semasa hayatnya bersifat amanah dan selalu menepati janji atau perjanjian (agreement) yang disepakati meski dengan musuh sekalipun. Perjanjian yang telah disepakati walau kemudian merugikan tetap dipenuhinya terlebih dahulu, meski selanjutnya diupayakan ada perubahan dengan persetujuan pihak yang terkait.
Kedua, bersikap jujur dan terpercaya (QS. Al-Mukminun: 8 dan Al-Isra’ : 35). Rasulullah dalam dinamika sejarah dikenal dengan kejujurannya, sehingga beliau dijuluki dengan al-amin (orang yang dapat dipercaya). Kejujuran beliau mencuat dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam hubungannya dengan kawan maupun lawan.
Ketiga, berlaku adil (QS. Al-Nahl: 90 dan Al-Maidah: 8). Rasulullah SAW selalu bersikap dan berlaku adil di kalangan manusia, baik kawan maupun lawan, dalam pelbagai situasi. Rasulullah SAW membuktikannya dalam sejarah dengan penuh adil dan bijaksana.
Keempat, semangat pengorbanan (QS. Al-Insan: 8-9 dan Al-Hasyr: 9). Pengorbanan merupakan salah satu watak dan kepribadian Rasulullah yang dinukil dalam sejarah. Meski rintangan dan tantangan dakwah luar biasa hebatnya, beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun. Ketabahan beliau dalam perjuangan dan kesabarannya menghadapi segala penderitaan yang tiada taranya memancarkan sifat-sifat yang utama dan akhlaq yang mulia. Waladzikrullahi Akbar!

Label:

URGENSI PENJAGAAN KESEHATAN

URGENSI PENJAGAAN KESEHATAN
Oleh: Dr. Efrinaldi, M.Ag.



Kandungan ajaran Islam menekankan kepada umatnya betapa penting arti kesehatan dalam hidup. Tuntunan ajaran Islam amat kaya dengan kesehatan. Dengan kesehatan akan melahirkan mobilitas dan dapat melakukan berbagai aktifitas. Dalam konteks ini, terlihat betapa urgennya memelihara kesehatan dalam Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 memformulasikan kesehatan itu dimaksudkan sebagai “ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya dan memelihara serta mengembangkannya.”
Dalam perspektif Islam, tuntunan kesehatan dalam ketiga aspek tersebut memang cukup banyak. Selain kesehatan fisik, kesehatan ruhaniah amat penting. Di samping itu, juga perlu kesehatan yang bernuansa sosial. Kesehatan pergaulan dalam masyarakat (hablum minan nas).
Mengacu kepada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah, banyak sekali tuntunan tentang urgensinya pemeliharaan diri, kebersihan, dan kesehatan tersebut, khususnya uraian tentang kesehatan fisik.

Urgensi Kesehatan
Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat dan senang kepada orang yang membersihkan diri.(QS. Al- Baqarah/2: 222). Dalam ayat ini terdeskripsi betapa sifat manusia yang sangat dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan dalam ayat ini beriringan dengan taubat. Taubat sangat inherent dengan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik. Dalam ayat lain juga ditegaskan: Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam kekotoran. (QS. Al-Muddatstsir/74: 4-5). Dalam hadis yang amat lazim diungkapkan tentang kebersihan berbunyi: An-nadzafatu minal iman (kebersihan sebagian dari iman).
Secara tematis, dapat diformulasikan beberapa aspek kesehatan yang secara tegas amat penting diperhatikan oleh seorang Muslim, terutama yang berkaitan dengan kesehatan fisik. Pertama, memperhatikan makanan. Perhatian terhadap makan dan minum amat penting; mengkonsumsi makanan yang halal lagi berkualitas baik s protein, yang dapat menguatkan tulang dan memelihara kesehatan, kekuatan dan keseimbangan tubuhnya (QS. al-Baqarah (2): 168). Terjauh dari mengkonsumsi barang-barang yang haram, narkotika, obat terlarang dan hal-hal yang membahayakan bagi kesehatan.
Agar tubuh tetap vit dan fresh, makanan yang masuk ke dalam tubuh sesuai dengan takaran (QS. Al-A’raf/ 7: 31). Tidak dianjurkan makan kelewat banyak dan tidak baik juga terlalu sedikit. Makan terlalu banyak, pencernaan akan rusak dan pernafasan jadi terdesak. Jika makan terlalu sedikit, manusia mudah mendapat sakit, karena tubuh akan kekurangan bahan bakar.
Berbagai penyakit yang banyak ditemukan saat ini seperti penyakit darah tinggi, penyakit usus, penyakit maag, penyakit gula, lambung, dan lain-lainnya, menurut penyelidikan para ahli, seluruhnya bersumber dari makanan. Al-Ma’idat bait adda’, perut merupakan sumber utama penyakit.
Kedua, menjaga kebugaran tubuh; badan tetap sehat dan pakaian selalu bersih. Ciri khas seorang Muslim, terlihat selalu menjaga kebersihan badan dan pakaiannya. Berpenampilan baik dan menarik, good and interesting performance. Badannya sehat, karena ta’at dan selalu shalat. Gerakan dalam shalat mengandung unsur riyadhah (olah raga, sport). Olah raga, gerak tubuh dianjurkan dalam Islam. Olahraga yang sesuai dengan tubuh dan keseimbangannya, usia dan lingkungan sosialnya, yang dapat menambah kekuatan, semangat dan kekebalan tubuh. Badannya selalu bersih karena sering mandi, apalagi Sunnah Nabi yang memerintahkan untuk selalu mandi dan menggunakan wangi-wangian, misalnya pada hari Jum’at.
Dalam historisitas Islam, tercatat bahwa tiap hari Kamis atau selambatnya pagi Jum’at Nabi SAW selalu mencukur rambut-rambut halus yang tumbuh pada bagian pipi. Janggut beliau selalu apik. Kuku beliau juga dipotong setiap minggunya. Dalam keseharian rambut beliau selalu tersisir rapi dan pada waktu tertentu beliau mengolesnya dengan sejenis minyak wangi.
Seorang Muslim terlihat berpakaian bersih dan berpenampilan menarik serta mengesankan, tanpa harus berlebih-lebihan dan menyolok, menyenangkan bagi orang yang melihatnya. Ia tidak berada di tengah-tengah orang banyak dengan keadaan acak-acakan dan tidak menarik. Sebaliknya, sebelum keluar rumah, ia selalu memperindah penampilannya secara layak dan tidak berlebih-lebihan, karena pada dasarnya memelihara keindahan itu adalah fitrah kemanusiaan. Selama memperindah penampilan tidak melampaui batas, maka hal itu termasuk perhiasan yang baik yang dibolehkan dan dianjurkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Allah berfirman: Wahai anak-cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap kali memasuki masjid. (QS. Al-A’raf/ 7: 31)
Ketiga, selalu menjaga kebersihan. Dalam Islam kebersihan itu sebagian dari iman. Jika bersih merupakan sebagian dari iman, maka orang yang tidak menjaga kebersihan berarti telah mulai luntur keimanannya.
Syari’at wudhu’ yang diperintahkan kepada segenap umat Islam sebelum melaksanakan shalat, pada hakikatnya merupakan suatu sistem ibadah yang mengkondisikan manusia menjaga kebersihan. Shalat tidak sah kalau orang tidak berwudhu’, sedangkan wudhu’ yang sempurna menjadi syarat mutlak bagi syahnya shalat. Setelah bersih melalui wudhu’, barulah orang dibenarkan melakukan shalat, menghadap Tuhan.
Dalam Islam menjaga kebersihan itu sangat penting. Sebab, kebersihan adalah pangkal kesehatan, sedangkan kesehatan merupakan faktor utama agar bisa melakukan berbagai aktifitas. Sebenarnya, menjaga kebersihan itu bukan hanya karena ingin sehat, tetapi karena merindukan kasih Tuhan. Sebagaimana firman Allah: Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat dan senang kepada orang yang membersihkan diri.(QS. Al- Baqarah/2: 222).
Kekotoran dapat menimbulkan penyakit. Kekotoran segera dibersihkan, kekotoran itu melanggar perintah Tuhan, karena pada hakikatnya penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus dihindari oleh orang yang bertaqwa. Al-Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surat al-Fatihah mengemukakan sabda Nabi SAW bahwa penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia mendidik hamba-hamba-Nya.
Pada dasarnya taqwa berarti memelihara diri dengan menghindar dari siksaan Allah SWT di dunia dan akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan pada kekotoran itu terkandung bibit penyakit. Namun, pada saat ditimpa penyakit, Islam memerintahkan agar segera berobat. Sabda Nabi SAW: Li kulli da’in dawa’ (Setiap penyakit ada obatnya).
Ketika ditimpa penyakit, sebagai manusia mesti berusaha untuk berobat. Di jalur medis, berobat berhubungan dengan dokter, tetapi di balik itu keluhan dan problema diadukan sama Penguasa jagad raya ini. Karena pada dasarnya obat dan upaya hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab dan upaya itu adalah Allah SWT, seperti ucapan Nabi Ibrahim AS yang disetir dalam QS. Al-Syu’ara/26: 80: Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.
Ya Allah, Engkau Maha Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan dengan Penyembuhan-Mu. Mudah-mudahan cobaan yang dihadapi segera dapat diatasi, karena selalu berada dalam kekuatan Tuhan. Hidup kita selalu bersama-Nya. Dia hadir dalam segenap gerak-gerik kita. Semoga dengan demikian jiwa makin tenang dan hati pun kian lapang. May God bless us.


____________________


Label:

URGENSI KESEHATAN

URGENSI KESEHATAN DALAM VISI ISLAM
Oleh: Drs. Efrinaldi, MA


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور انفسنا ومن سيئات اعمالنا. من يهد الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. اشهد ان لااله الالله وحده لاشريك له واشهدان محمدا عبده ورسوله ارسله بالهدى بشيرا و نذيرا وداعيا الىالله باذنه وسراجا منيرا. اللهم فصل وسلم على هذا النبي الكريم والرسول العظيم سيدنا ومولانا محمد صلىالله عليه وسلم و على اله واصحابه اجمعين. اما بعد.
فياعبادالله, اصيكم واياي بتقوىالله فقد فازالمتقون. ثم قال الله تعالى فىالقران الكريم : ياايها الذين امنوا اتقوالله حق تقاته ولاتموتن الا وانتم مسلمون.

Hadhirin, jamaah Jum’at yang berbahagia!
Ada suatu hal yang tak dapat disanggah dan dibantah. Suatu hal yang tak dapat dielak dan ditolak. Yakni setiap manusia itu mesti bertaqwa kepada Allah SWT. Amat janggal dan suatu kekeliruan yang besar, orang yang hanya pandai memakan dan menghabiskan rahmat dan nikmat Allah SWT, tetapi tidak mau bertaqwa kepada-Nya. Suatu kekeliruan bagi orang yang hanya tahu dengan haq, tetapi tidak mau tahu dengan kewajiban. Bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya, dalam artian berupaya untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan berusaha meninggalkan apa saja yang dilarang-Nya. Sesungguhnya Allah hanya cinta pada orang-orang yang bertaqwa.
Shalawat dan salam diperuntukkan kepada Junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Beliau telah berhasil mengangkat harkat dan derajat manusia. Dari manusia yang berkarakter munafik, kepada manusia shiddiq. Dari manusia musyrik kepada manusia tauhid.

Hadhirin, jamaah Jum’at yang dirahmati Allah!
Islam adalah agama yang universal, yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Islam adalah way of life, pandangan hidup. Oleh karena itu, Islam seyogianya menjadi realitas dalam kehidupan seorang Muslim.
Kesehatan dalam visi Islam amat penting. Kandungan ajaran Islam menekankan kepada umatnya betapa penting arti kesehatan dalam hidup. Tuntunan ajaran Islam amat kaya dengan kesehatan. Dengan kesehatan akan melahirkan mobilitas dan dapat melakukan berbagai aktifitas. Dalam konteks ini, terlihat betapa urgennya penjagaan kesehatan dalam Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983 memformulasikan kesehatan itu dimaksudkan sebagai “ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan tuntunan-Nya dan memelihara serta mengembangkannya.”
Dalam perspektif Islam, tuntunan kesehatan dalam ketiga aspek tersebut memang cukup banyak. Selain kesehatan fisik, kesehatan ruhaniah amat penting. Di samping itu, juga perlu kesehatan yang bernuansa sosial. Kesehatan pergaulan dalam masyarakat (hablum minan nas).
Mengacu kepada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah, banyak sekali tuntunan tentang urgensinya pemeliharaan diri, kebersihan, dan kesehatan tersebut, khususnya uraian tentang kesehatan fisik, sebagai fokus kajian dalam pembahasan ini.

Hadhirin, jamaah Jum’at yang berbahagia!
Allah SWT berfirman:
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat dan senang kepada orang yang membersihkan diri.(QS. Al- Baqarah/2: 222).

Dalam ayat ini terdeskripsi betapa sifat manusia yang sangat dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan dalam ayat ini beriringan dengan taubat. Taubat sangat inherent dengan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik. Dalam ayat lain juga ditegaskan:
وثيابك فطهر -والرجز فاهجر
Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam kekotoran. (QS. Al-Muddatstsir/74: 4-5)
Dalam hadis yang amat lazim diungkapkan tentang kebersihan berbunyi:
النظافة من الايمان
Kebersihan sebagian dari iman.

Secara tematis, dapat diformulasikan beberapa aspek kesehatan yang secara tegas amat penting diperhatikan oleh seorang Muslim, terutama yang berkaitan dengan kesehatan fisik. Pertama, memperhatikan makanan. Seorang Muslim yang taat tentu akan berusaha untuk memperhatikan badan dan tubuh agar selalu sehat dan kuat. Perhatian terhadap makan dan minum amat penting; mengkonsumsi makanan yang halal lagi berkualitas baik sarat protein, yang dapat menguatkan tulang dan memelihara kesehatan, kekuatan dan keseimbangan tubuhnya. Allah berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِين
Makan dan minumlah, jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. (QS. Al-A’raf/ 7: 31)

Umar Ibn al-Khattab, sahabat Nabi SAW dan salah seorang Khulafa al-Rasyidin, pernah mengatakan,”Hindarilah oleh kalian kekenyangan yang berlebihan dalam pola makan dan minum, karena hal itu dapat merusak tubuh dan mendatangkan penyakit, serta dapat menyebabkan malas dalam menjalankan shalat. Hendaklah seorang Muslim itu berlaku sederhana dalam makan dan minum, kerena hal itu akan lebih baik bagi tubuh dan jauh dari pemborosan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Tidaklah seseorang akan celaka sehingga ia mendahulukan syahwatnya dari agamanya.”
Seorang Muslim akan selalu berupaya memperhatikan kebersihan dalam makan dan minum. Terjauh dari mengkonsumsi barang-barang yang haram, narkotika, obat terlarang dan hal-hal yang membahayakan bagi kesehatan.
Agar tubuh tetap vit dan fresh, makanan yang masuk ke dalam tubuh sesuai dengan takaran. Tidak boleh makan kelewat banyak dan tidak baik juga terlalu sedikit. Makan terlalu banyak, pencernaan akan rusak dan pernafasan jadi terdesak. Jika makan terlalu sedikit, manusia mudah mendapat sakit, karena tubuh akan kekurangan bahan bakar.
Orang yang banyak makan rentan mengidap penyakit dan siapa berhati-hati berarti telah menjaga diri supaya tidak sakit. Berbagai penyakit yang banyak dialami berbagai bangsa di dunia ini, khususnya umat Islam dewasa ini seperti penyakit darah tinggi, penyakit usus, penyakit maag, penyakit gula, lambung, dan lain-lainnya, menurut penyelidikan para ahli, seluruhnya bersumber dari makanan. Al-Ma’idat bait adda’, perut merupakan sumber utama penyakit. Karena itu, seperti uraian di atas, banyak sekali tuntunan—baik dari al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW—yang berhubungan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.

Hadhirin, jamaah Jum’at yang mulia!
Sebagian pakar dan ilmuwan berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Kata rijs dalam ayat berikut ini terdeskripsi tentang keharaman makanan dan minuman tertentu.

إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
Kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor.(QS. Al-An’am/6: 145).

Secara esensial kata rijs mengindikasikan tentang keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Alexis Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown mengakui bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktifitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum dilakukan eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.
Kedua, menjaga badan dan pakaian selalu bersih. Ciri khas seorang Muslim di antaranya adalah selalu menjaga kebersihan badan dan pakaiannya. Berpenampilan baik dan menarik, good and interesting performance. Badannya selalu bersih karena sering mandi, apalagi Sunnah Nabi yang memerintahkan untuk selalu mandi dan menggunakan wangi-wangian, misalnya pada hari Jum’at.
Dalam historisitas Islam, tercatat bahwa tiap hari Kamis atau selambatnya pagi Jum’at Nabi SAW selalu mencukur rambut-rambut halus yang tumbuh pada bagian pipi. Janggut beliau selalu apik. Kuku beliau juga dipotong setiap minggunya. Dalam keseharian rambut beliau selalu tersisir rapi dan pada waktu tertentu beliau mengolesnya dengan sejenis minyak wangi.
Demikian juga perhatian seorang Muslim terhadap mulutnya, sehingga tidak seorang pun mencium bau busuk dari mulutnya. Hal itu karena ia selalu menggosok gigi setiap hari dengan siwak, sikat gigi atau alat pembersih lainnya. Rasulullah SAW bersabda,”
لولا ان اشق علىامتى لامرتهم بالسواك عند كل صلاة
Sekiranya tidak akan memberatkan bagi umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali akan shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pakaian seorang Muslim juga selalu bersih, karena tidak akan dibiarkan kekotoran dan bau badan menyebar dari pakaian. Rasulullah SAW membenci seseorang yang berpenampilan di tengah-tengah orang banyak dengan pakaian kotor selama dia mampu mencuci dan membersihkan pakaiannya. Hal itu merupakan hikmah dan pelajaran bagi seorang Muslim untuk selalu berpakaian bersih, berpenampilan rapi, serta enak dipandang.
Seorang Muslim akan terlihat berpakaian bersih dan berpenampilan menarik serta mengesankan, tanpa harus berlebih-lebihan dan menyolok, menyenangkan bagi orang yang melihatnya. Ia tidak berada di tengah-tengah orang banyak dengan keadaan acak-acakan dan tidak menarik. Sebaliknya, sebelum keluar rumah, ia selalu memperindah penampilannya secara layak dan tidak berlebih-lebihan. Selama memperindah penampilan tidak melampaui batas, maka hal itu termasuk perhiasan yang baik yang dibolehkan dan dianjurkan Allah bagi hamba-hamba-Nya.

يبني ادم خذوا زينتكم عند كل مسجد
Wahai anak-cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap kali memasuki masjid. (QS. Al-A’raf/ 7: 31)

Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan pentingnya keindahan dan kecantikan pada diri manusia. Beliau tidak menyukai orang yang mengabaikan dirinya acak-acakan dan membiarkannya dalam keadaan tidak teratur. Pada dasarnya memelihara keindahan itu adalah fitrah kemanusiaan, termasuk hal yang dicintai oleh Islam dan oleh setiap orang yang memiliki karakter lembut dan citra rasa yang sehat.
Ketiga, selalu menjaga kebersihan. Dalam Islam kebersihan sangat penting. Kebersihan sebagian dari iman. Jika bersih merupakan sebagian dari iman, maka siapa saja yang tidak menjaga kebersihan berarti telah mulai luntur keimanannya.
Syari’at wudhu’ yang diperintahkan kepada segenap umat Islam sebelum melaksanakan shalat, pada hakikatnya merupakan suatu sistem ibadah yang mengkondisikan manusia menjaga kebersihan. Shalat tidak sah kalau orang tidak berwudhu’, sedangkan wudhu’ yang sempurna menjadi syarat mutlak bagi syahnya shalat. Setelah bersih melalui wudhu’, barulah orang dibenarkan melakukan shalat, menghadap Tuhan.
Bukan saja ketika hendak mengerjakan shalat, kebersihan mesti dipelihara. Di luar shalat pun setiap orang Islam harus memperhatikan kebersihan, yakni kebersihan diri dan pakaian sebagaimana telah diuraikan di atas, serta kebersihan rumah dan lingkungannya.
Dalam Sunnah Nabi, seorang Muslim juga diperintahkan untuk membersihkan jalan, baik jalan umum maupun jalan menuju ke rumah sendiri. Sampah-sampah tidak boleh dibuang seenaknya dan tulang-tulang serta duri disingkirkan dari tengah jalan.
Dalam Islam menjaga kebersihan itu sangat penting. Sebab, kebersihan adalah pangkal kesehatan, sedangkan kesehatan merupakan faktor utama dalam perjuangan. Bagaimana seorang Muslim bisa bangun pagi, bisa berjuang dan berperang, kalau badannya tidak sehat. Sebenarnya, menjaga kebersihan itu bukan hanya karena ingin sehat, tetapi karena merindukan kasih Tuhan. Sebagaimana firman Allah:
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat dan senang kepada orang yang membersihkan diri.(QS. Al- Baqarah/2: 222).

Kekotoran dapat menyebabkan penyakit. Kekotoran bagi seorang Muslim segera dibersihkan. Kekotoran itu melanggar perintah Tuhan, karena pada hakikatnya penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus dihindari oleh orang yang bertaqwa. Al-Biqa’i dalam tafsirnya mengenai surat al-Fatihah mengemukakan sabda Nabi SAW:

المرض سوط الله فىالارض يؤدب الله به عباده.
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia mendidik hamba-hamba-Nya.

Pada dasarnya taqwa berarti menghindar dari siksaan Allah SWT di dunia dan akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan pada kekotoran itu terkandung bibit penyakit. Namun, pada saat ditimpa penyakit, Islam memerintahkan agar segera berobat. Sabda Nabi SAW:
لكل داء دواء
Setiap penyakit ada obatnya.

Ketika ditimpa penyakit, sebagai manusia mesti berusaha untuk berobat. Di jalur medis, berobat berhubungan dengan dokter-dokter, tetapi di balik itu keluhan dan problema diadukan sama Penguasa jagad raya ini. Karena pada dasarnya obat dan upaya hanyalah “sebab”, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab dan upaya itu adalah Allah SWT, seperti ucapan Nabi Ibrahim AS yang disetir dalam QS. Al-Syu’ara/26: 80:
واذا مرضت فهو يشفين.
Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.

اللهم انت الشافىلا شفاء الا شفاءك.
Ya Allah, Engkau Maha Penyembuh, tiada kesembuhan melainkan dengan Penyembuhan-Mu.

Mudah-mudahan cobaan yang dihadapi segera dapat diatasi, karena selalu berada dalam kekuatan Tuhan. Hidup kita bersama-Nya. Dia hadir dalam segenap gerak-gerik kita.
Nah, semoga dengan demikian jiwa makin tenang dan hati pun kian lapang. Apa yang dicita-citakan tercapai, yang diidam-idamkan tergapai. Rezeki kita dilapangkan oleh Allah dan semoga kehidupan kita makin dimudahkan-Nya. Masyarakat selalu dalam keadaan aman, damai, dan sejahtera. Amin ya Allah ya Rabbal ‘alamin.


بارك الله لي ولكم فى القران العظيم ونفعني واياكم بالايات والذكرالحكيم و تقبل منى ومنكم تلاوته انه هوالغفور الرحيم.

Khutbah Kedua

الحمدلله رب العالمين. وبه نستعين على امورالدنيا والدين. والصلاة والسلام على اشراف المرسلين وعلى اله واصحابه اجمعين. اما بعد. فياعبادالله, اصيكم واياي بتقوىالله فقد فازالمتقون. ثم قال الله تعالى فىالقران الكريم : وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. ان الله وملائكته يصلون على النبي. ياايها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل على محمد وعلى أل محمد كما صليت علىابراهيم وعلىأل ابراهيم. وبارك على محمد وعلىأل محمد كما باركت علىابراهيم وعلىأل ابراهيم. فىالعالمين انك حميد مجيد.
اللهم اغفرللمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الاحياء منهم والاموات انك سميع قريب مجيب الدعوات امين يا قاضي الحاجات. اللهم ادفع عنا الغلاء والبلاء والوباء والفحشاء والمنكر والسيوف المختلفة والشدائد والمحن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا خاصة ومن بلدان المسلمين عامة انك على كل شيء قدير. ربنا ظلمنا انفسنا وان لم تغفرلنا وترحمنا لنا كننا من الخاسرين. ربنا اتنا فىالدنياحسنة وفىالاخرة حسنة وقنا عذاب النار.
عبادالله, ان الله يأمر بالعدل والاحسان و ايتاء ذى القربى و ينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون. واذكروا الله العظيم يذكركم واسئلوه من فضله يعطكم و لذكرالله اكبر.

______________
Ciputat, 08182004, Efrn.

Label:

PRINSIP-PRINSIP SISTEM EKONOMI ISLAM

PRINSIP-PRINSIP SISTEM EKONOMI ISLAM
Oleh : DR. Efrinaldi, M.Ag.


Perkembangan Islamic finance (keuangan Islami) dalam sistem ekonomi dewasa ini sangat menggembirakan. Ini mengindikasikan betapa perlunya penerapan konsep-konsep agama ke dalam kehidupan bisnis, sains dan teknologi. Islamic finance merupakan suatu bentuk pengejawantahan aspek keuangan yang bersumber dari sistem Islam.
Sebagai suatu terobosan, Islamic finance menjadi alternatif terhadap berbagai situasi pelik yang dihadapi, ketika penerapan sistem ekonomi yang dipresumsikan telah mapan dan superior, digerogoti oleh kemelut dan krisis multidimensional. Mengacu kepada epistemologi Islam, dalam rangka penyusunan prinsip-prinsip keuangan Islami (Islamic finance), antara lain berkenaan dengan dasar manajemen harta atau kepemilikan, dimensi pelarangan riba (prohibition of usury) dan pelarangan perjudian atau maysir (prohibition of gambling).

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Menurut perspektif Islam, ada beberapa prinsip dalam sistem ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas perekonomian.
Pertama, seluruh aktifitas ekonomi yang dilakukan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai tauhid. Penerapan prinsip-prinsip tauhidi pada sistem ekonomi mengindikasikan manusia sebagai subjek sentral dalam pengelolaan ekonomi. Prinsip ini bagi seorang muslim terpatri dalam nurani bahwa seluruh tindakan apa saja yang diperbuat senantiasa berorientasi pada pengabdian kepada Allah SWT. Firman Allah: Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat (51): 56).
Tuhan selalu mengontrol dan mengawasi setiap aktifitas yang dilakukan. Dimensi pemberdayaan teologis (theology empowerment) sangat menonjol dalam aspek ini. Pengawasan yang bersifat vertikal ini akan sangat efektif terhadap aktifitas bisnis yang kadang-kadang rentan terhadap kolusi dan manipulasi.
Prinsip di atas akan berimplikasi terhadap implementasi prinsip dasar dalam aktifitas mu’amalah. Prinsip dasar tersebut ialah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, dengan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi dalam segenap aktifitas bisnis yang dihadapi. Tidak mempersulit manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an : Dia sekali-kali tidak menjadikan bagimu suatu kesempitan dalam agama. (QS. Al-Hajj (22) : 78). Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran dan saling membantu demi solidaritas bersama.
Kedua, aktifitas ekonomi yang dilakukan dilandasi oleh nilai-nilai humanistik (al-akhlaq al-karimah). Seorang muslim dituntut menampilkan akhlak yang baik, karena inilah yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan, berkenaan dengan fungsinya sebagai khalifatullah fi al-ardh, khalifah Tuhan di muka bumi (QS. Al-Baqarah (2) : 30). Membumikan prinsip-prinsip persamaan dalam aktifitas ekonomi yang berkenaan dengan hak dan kewajiban (equality before rights).
Ketiga, tidak merugikan dan mengeksploitasi manusia dalam berbagai bentuk bidang usaha. Prinsip ini dimaksudkan supaya para pelaku ekonomi dalam berusaha bergerak dalam batas-batas yang ditentukan syari’at. Penipuan (gharar), manipulasi, dan kecurangan-kecurangan, serta penimbunan barang oleh pedagang (ihtikar) tidak mewarnai aktifitas ekonomi. Dengan demikian setiap pihak merasakan ketenteraman berusaha dan menjamin kemaslahatan bersama.
Keempat, kegiatan mu’amalah yang dilakukan didasarkan atas adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Asas suka sama suka untuk melakukan kegiatan bisnis atau perniagaan sangat penting. Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini yang dapat menimbulkan kerugian masing-masing. Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan (mempertukarkan) harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. (QS. Al-Nisa’ (4) : 29)
Asas kerelaan (‘an taradhin minkum) dalam mu’amalah sangat penting. Keabsahan suatu aktifitas mu’amalah turut dipengaruhi oleh aspek ini. Sesungguhnya implementasi ijab-qabul mencuat dalam penerapan prinsip ini.
Kelima, asas persaudaraan dan keadilan universal. Berbagai bentuk usaha yang dilakukan didasarkan atas prinsip membangun kemitraan dan solidaritas global serta prinsip keadilan universal.
Dalam Islam ditegaskan bahwa secara esensial manusia berasal dari satu keturunan yaitu Adam dan Hawa. Atas dasar ini, manusia sebenarnya merupakan satu keluarga. Keluarga besar dalam komunitas dunia. Untuk itu, asas persaudaraan dan keadilan dalam berbagai bentuk bidang usaha harus ditegakkan tanpa diskriminasi rasial, suku, ataupun agama.
Keenam, produk barang atau jasa adalah sesuatu yang halal dan ditolerir oleh agama (QS. al-Baqarah (2) : 168). Baik cara memperoleh input, pengolahannya dan outputya harus terbukti halal. Karena pada dasarnya seluruh yang baik itu dihalalkan, sedangkan yang akan merusak dan kotor-kotor diharamkan. Perdagangan minuman keras, babi, obat-obat terlarang dan yang sejenisnya seyogianya dijauhi dan dihindari.
Ketujuh, berbagai bentuk dan bidang usaha yang dilakukan memberi manfaat kepada orang lain. Kegiatan usaha yang dilakukan bukan semata mengandung unsur bisnis tetapi seyogianya dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada setiap anggota masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya (basic needs fulfillment). Aspek ini dalam Islam sangat diperhatikan dengan memberi kemudahan kepada orang lain tanpa mempersulit. Tidak ada unsur kemudaratan dilakukan yang bisa berakibat tidak baik kepada orang lan.
Kedelapan, kegiatan usaha yang dilakukan juga dilandasi dengan prinsip untuk saling membantu dan menolong. Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah bertolong-tolongan dalam perbuatan dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah (5) : 2).
Kesembilan, kegiatan ekonomi dalam Islam menganut prinsip untuk merealisasikan keseimbangan (equilibrium) antara kepentingan individu dan masyarakat. Dalam Islam, distribusi pendapatan dan kekayaan merata. Terhadap warga masyarakat yang secara ekonomi tidak beruntung, Islam meletakkan kewajiban kepada penguasa untuk memberikan jaminan standar kehidupan minimal.
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menolak akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berbeda dengan sistem Kapitalis, pada kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tanpa terkecuali sektor industri yang merupakan kepentingan umum.
Egoisme, keserakahan, dan monopoli dalam sentra-sentra ekonomi tidak dapat ditolerir dalam Islam. Krisis dan ambruknya sistem yang pernah mapan turut dipicu oleh merajalelanya penguasaan sentra-sentra ekonomi pada segelintir orang. Kompetisi merupakan sesuatu hal yang lumrah, tetapi pengutamaan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individual tidak bisa diabaikan.
Kesepuluh, seluruh bentuk kegiatan usaha dan bisnis yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam (QS. Ali Imran (3) : 32). Asas tidak melawan hukum dan syari’at ini sangat penting. Seluruh bentuk dan ragam perbuatan yang dilarang dalam Islam tidak bercampur aduk dalam bisnis.
Sumber nilai dalam hal ini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Seluruh aktifitas ekonomi didasarkan pada konfirmasi dari wahyu. Karena pada prinsipnya, segala sesuatu yang ditolerir sudah pasti mengandung kemaslahatan. Apabila muatan atau indikator kemaslahatan (al-mashlahah) ada dalam bidang mu’amalah, maka itulah sebenarnya yang dituju oleh hukum syara’, karena Islam disyari’atkan memang untuk kemaslahatan manusia secara universal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.


______________________

Label:

KIPRAH PERBANKAN SYARI’AH

KIPRAH PERBANKAN SYARI’AH
Oleh: DR. Efrinaldi, M.Ag.
(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang dan Researcher pada The Center for Research and Management Training (CRMT), Jakarta)


Dinamika dan kiprah bank syari’ah dewasa ini memperlihatkan secercah harapan untuk memainkan peran yang lebih besar dalam mengembangkan perekonomian masyarakat. Harapan itu mencuat, karena perkembangan bank syari’ah didukung dengan semakin membaiknya situasi perbankan pasca krisis moneter yang melanda dunia perbankan nasional. Di antara indikatornya adalah tingkat bunga yang bisa ditekan rendah. Dalam hal ini, bank syari’ah ternyata tumbuh dengan pesat, seiring dengan semakin rendahnya tingkat bunga bank konvensional.
Pembicaraan tentang peluang dan maraknya perbankan dengan sistem syari’ah sangat sekuensial dengan lahirnya pada waktu itu UU No. 10 tahun 1998. Perundang-undangan ini memberikan fondasi yang kuat bagi perkembangan jaringan perbankan syari’ah di Indonesia, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Bank syari’ah, dalam hal ini, diharapkan mampu membuktikan dirinya menjadi bank alternatif. Pengembangan perbankan syari’ah, diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional, yang pada saat terjadi krisis keuangan, bank syari’ah dapat megurangi problema systemic risk. Selain itu, preferensi masyarakat terhadap bank syari’ah mulai cukup tinggi.
Dalam perspektif Islam, aktifitas finansial dan perbankan dalam dunia modern seperti sekarang ini mengandung dua prinsip, yaitu al-ta’awun dan menghindari al-iktinaz. Prinsip al-ta’awun dimaksudkan sebagai sikap saling membantu dan saling bekerjasama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan. Prinsip menghindari al-iktinaz adalah menahan dana dengan membiarkannya menganggur tanpa diproduktifkan dalam suatu transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
Dalam prinsip operasionalisasi bank syari’ah, pelarangan riba sangat tegas. Demikian juga bisnis dan aktifitas perdagangan (trade) harus berbasis pada orientasi profit yang sah menurut syari’ah, serta adanya kewajiban zakat.
Sistem perbankan syari’ah memiliki prinsip-prinsip operasional yang khas (Luca Errico and Mitra Farahbakhs, Islamic Banking: Issues in Prudential Regulations and Supervision, 1998: 6-11). Ini dapat ditinjau dari sisi pengerahan dana masyarakat (funding) atau sebagai suatu sistem penghimpunan dana bank syari’ah dan dari sisi penyaluran dana kepada masyarakat (financing) atau sistem pembiayaan perbankan syari’ah.
Dari aspek pengerahan dana masyarakat terlihat adanya prinsip al-wadi’ah untuk simpanan lancar dan prinsip al-mudharabah untuk simpanan diinvestasikan (Karnaen A. Perwataatmadja, 1992:129). Prinsip al-wadi’ah dalam hal ini diartikan sebagai titipan dana atau amanat dari salah satu pihak kepada pihak lain untuk menjaganya dengan baik, yang setiap waktu dapat ditarik pemiliknya dengan cara mengeluarkan cek, pemindahbukuan/transfer, dan perintah membayar lainnya (Al-Syarbaini al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, 1978, III:79). Prinsip ini dimplementasikan pada rekening simpanan lancar atau giro (current account) dan rekening simpanan atau tabungan berjangka (saving account).
Secara umum, bank syari’ah menggunakan akad al-wadi’ah ini pada rekening giro. Pembukaan rekening giro oleh nasabah berarti melakukan akad al-wadi’ah atau titipan amanah. Sedangkan dalam bentuk tabungan, selain mengikuti prinsip al-mudharabah, juga dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek dengan pembiayaan bank syari’ah. Dalam konteks ini, penyimpan dana berhak atas bagi hasil dari usaha bank yang non-fixed return. Apabila proyek-proyek atas pembiayaan bank itu memperoleh keuntungan, maka penyimpan dana akan dapat bagian, yang secara probabilitas bisa lebih besar dari tingkat bunga deposito pada bank konvensional.
Sedangkan prinsip al-mudharabah (trustee profit sharing) mengacu kepada bentuk simpanan diinvestasikan. Simpanan dalam bentuk deposito memakai prinsip al-mudharabah. Deposito al-mudharabah merupakan simpanan pada bank, yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang ditetapkan. Pada prinsip ini ada pihak yang menyediakan dana saja (shahib al-mal) dan ada pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan usaha saja (mudharib).
Dalam kontrak al-mudharabah, seorang mudharib (entrepreneur) memperoleh modal dari suatu unit ekonomi untuk tujuan melakukan perniagaan atau menjalankan perusahaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Profit yang diperoleh dibagi sesuai dengan ratio laba yang disepakati bersama.
Kontrak al-mudharabah terlihat sebagai suatu bentuk equity financing. Prinsip al-mudharabah juga diterapkan pada rekening simpanan berjangka waktu (investment account) dan simpanan bersyarat (saving account).
Aspek penyaluran dana dan pelayanan bank kepada masyarakat setidaknya ada lima prinsip. Prinsip ini merupakan sumber pendapatan bank, yaitu: pertama, prinsip bagi hasil dari al-musyarakah (joint venture profit sharing) dan al-mudharabah sebagai penyaluran dana yang diperoleh dari penyimpan dana.
Prinsip al-mudharabah diterapkan kepada semua jenis pembiayaan penuh tanpa intervensi pengelolaan bank pada suatu usaha atau proyek dengan jangka waktu yang fleksibel dengan sistem bagi hasil menurut perjanjian. Kredit al-mudharabah atau kredit al-qiradh merupakan kredit yang disepakati antara bank dengan pengusaha, dengan penyediaan pinjaman modal investasi dan modal kerja dari bank, sedangkan pihak pengusaha mempersiapkan proyek atau usaha dengan para profesional, dengan dasar ketentuan bagi hasil. Pihak penerima kredit al-mudharabah melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Dalam prinsip al-mudharabah ini, bank terlihat menyalurkan modal dari pemilik dana yang tidak mengetahui seluk-beluk usaha, tetapi mempunyai modal, kepada pengusaha yang ahli di bidang tertentu, tetapi tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengembangkan usahanya.
Prinsip al-musyarakah diaplikasikan pada semua jenis pembiayaan dengan intervensi pengelolaan bank pada suatu usaha atau proyek dengan sistem bagi hasil menurut porsi yang ditetapkan. Dalam operasional perbankan, al-musyarakah atau al-syirkah diartikan sebagai suatu perjanjian kesepakatan bersama antara bank dengan beberapa pemilik modal (nasabah) untuk menyertakan modalnya (equity financing) untuk membiayai suatu jenis proyek atau usaha yang halal dan produktif, dengan resiko dan keuntungan dibagi secara berimbang.
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih—bank dan lembaga-lembaga keuangan serta nasabahnya—dapat mengumpulkan modal untuk membentuk suatu perusahaan (syirkah al-inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak mempunyai bagian sesuai dengan kontribusi modal dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan secara proporsional. Al-musyarakah sangat efektif untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam investasi, sehingga dari sumber dana yang dapat dikerahkan—dari masyarakat bersama-sama dengan mitra usaha yang lain— dapat disalurkan ke proyek-proyek investasi, untuk menunjang program pembangunan melalui cabang-cabang perusahaan, yang berbentuk institusi finansial selain bank dan lembaga pembiayaan.
Kedua, prinsip pengambilan keuntungan dari al-murabahah dengan pembayaran tangguh (lump sum deferred payment) dan al-bai’ bitsaman ajil dengan pembayaran diangsur (installment deferred payment).
Secara khas, al-murabahah merupakan kontrak jual-beli dengan penyerahan barang segera, sedangkan harga terhadap barang tersebut dibayar di kemudian hari sekaligus. Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual, sedangkan nasabah sebagai pembeli, dengan penangguhan pembayaran yang dilakukan secara sekaligus. Pada dasarnya , al-bai’ bitsaman ajil merupakan kontrak al-murabahah dengan penyerahan segera barang yang diperjualbelikan tersebut, sedangkan harga atas barang dibayar di kemudian hari secara angsuran.
Prinsip al-murabahah diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh yang merupakan alokasi dana untuk pengadaan barang, ditambah profit yang disepakati dengan sistem pembayaran tangguh. Al-murabahah ini terlihat sebagai suatu perjanjian kredit yang disepakati antara bank dengan nasabahnya, dengan penyediaan pinjaman dana dari bank untuk membeli barang apapun yang dibutuhkan penerima kredit, untuk dibayar kembali pada waktu jatuh tempo. Al-murabahah ini bertujuan untuk mendukung pengembangan para pengusaha produsen di bidang pertanian, perikanan, industri kecil, dan lain-lain dengan cara menyediakan fasilitas kredit tanpa penyimpangan bagi pengusaha yang ketika memerlukan tambahan barang, tidak mempunyai cukup dana.
Adapun prinsip al-bai’ bitsaman ajil diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh, yang merupakan alokasi dana untuk pengadaan barang, ditambah profit yang disepakati dengan sistem pembayaran cicilan. Al-bai’ bitsaman ajil terlihat sebagai suatu perjanjian kredit yang disepakati antara bank dengan nasabahnya, dengan pinjaman dana dari bank untuk membeli barang apa pun yang dibutuhkan penerima kredit, untuk dibayar kembali pada waktu jatuh tempo secara cicilan. Ownership dari asset dialihkan oleh bank kepada nasabah, dengan aturan selama angsuran belum lunas, asset tersebut dijadikan agunan.
Ketiga, prinsip pemungutan biaya administrasi atas pinjaman dan kebaikan, tanpa tambahan biaya yang diberikan bank (al-qardh al-hasan). Prinsip ini merupakan perjanjian kredit antara bank dengan nasabah, yang dianggap layak menerima pinjaman lunak, baik itu pengusaha agar usahanya dapat bangkit dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, maupun untuk perorangan yang dalam keadaan terdesak. Al-qardh al-hasan diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh atau sebagian yang merupakan dana tunai atau untuk pengadaan barang disertai kewajiban membayar biaya administrasi dengan sistem pembayaran tangguh atau cicilan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Al-qardh al-hasan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan uang tunai, baik untuk kepentingan konsumtif, seperti keadaan mendesak untuk membiayai perkawinan, rumah sakit, maupun untuk kepentingan produktif, seperti untuk modal kerja awal, atau untuk bridging financing bagi suatu usaha yang produktif.
Keempat, prinsip pengambilan sewa atas penggunaan barang yang pengadaannya ditalangi oleh bank tanpa diakhiri oleh pemilikan barang tersebut (al-ijarah). Prinsip ini diaplikasikan pada semua jenis pembiayaan penuh, yang merupakan dana untuk pengadaan barang, ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa, tanpa diakhiri dengan pemilikan. Model ini secara konvensional, dikenal sebagai lease dan financing lease.
Kelima, prinsip pengambilan upah (fee) atas penggunaan jasa bank seperti penerbitan jaminan bank (al-kafalah), pemindahan hutang (al-hiwalah), dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam sistem perbankan syari’ah dilarang adanya fixed return (penetapan keuntungan yang pasti di muka) dalam setiap kontrak pembiayaan proyek. Oleh karena itu, bentuk kontrak pada pembiayaan al-mudharabah dan al-musyarakah merupakan sistem yang didasarkan pada peyertaan (equity based system) dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Penentuan keuntungan di muka, di satu sisi dapat juga dilakukan, jika itu merupakan kesepakatan berbentuk jual-beli melalui pembiayaan pemilikan barang/aktiva (al-murabahah, al-ijarah, al-bai’ bitsaman ajil).
Kiprah perbankan syari’ah tampak dimaksudkan untuk menerapkan dan mementingkan aspek-aspek moralitas dalam lembaga-lembaga keuangan saat ini. Dalam sistem perbankan syari’ah, terlihat adanya pembatasan kegiatan spekulasi dengan high risk yang tidak produktif, peniadaan unsur al-gharar, serta pelarangan riba dengan peniadaan pembebanan bunga bank.
Aspek moralitas dalam prinsip-prinsip syari’ah, dapat mendorong terciptanya etika usaha, dengan komitmen dan integritas yang tinggi. Pengembangan bank syari’ah dapat memberikan jasa pelayanan yang kompetitif, yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan aliran modal masuk, terutama dari lembaga atau pihak-pihak yang mempersyaratkan pola transaksi dengan prinsip syari’ah. Bank syari’ah, dalam hal ini, telah memberikan kontribusi bagi dunia perbankan di Indonesia, meskipun realitas terkadang menunjukkan kinerja dan dukungan masyarakat terhadap bank syari’ah masih jauh dari potensi yang dapat digali dan dikembangkan.




__________Efrn__________
Pdg, 01, 04082007

Label: