DR.Efrinaldi, Pemikiran Politik Islam

Jumat, 10 April 2009

PRINSIP-PRINSIP SISTEM EKONOMI ISLAM

PRINSIP-PRINSIP SISTEM EKONOMI ISLAM
Oleh : DR. Efrinaldi, M.Ag.


Perkembangan Islamic finance (keuangan Islami) dalam sistem ekonomi dewasa ini sangat menggembirakan. Ini mengindikasikan betapa perlunya penerapan konsep-konsep agama ke dalam kehidupan bisnis, sains dan teknologi. Islamic finance merupakan suatu bentuk pengejawantahan aspek keuangan yang bersumber dari sistem Islam.
Sebagai suatu terobosan, Islamic finance menjadi alternatif terhadap berbagai situasi pelik yang dihadapi, ketika penerapan sistem ekonomi yang dipresumsikan telah mapan dan superior, digerogoti oleh kemelut dan krisis multidimensional. Mengacu kepada epistemologi Islam, dalam rangka penyusunan prinsip-prinsip keuangan Islami (Islamic finance), antara lain berkenaan dengan dasar manajemen harta atau kepemilikan, dimensi pelarangan riba (prohibition of usury) dan pelarangan perjudian atau maysir (prohibition of gambling).

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Menurut perspektif Islam, ada beberapa prinsip dalam sistem ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas perekonomian.
Pertama, seluruh aktifitas ekonomi yang dilakukan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai tauhid. Penerapan prinsip-prinsip tauhidi pada sistem ekonomi mengindikasikan manusia sebagai subjek sentral dalam pengelolaan ekonomi. Prinsip ini bagi seorang muslim terpatri dalam nurani bahwa seluruh tindakan apa saja yang diperbuat senantiasa berorientasi pada pengabdian kepada Allah SWT. Firman Allah: Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat (51): 56).
Tuhan selalu mengontrol dan mengawasi setiap aktifitas yang dilakukan. Dimensi pemberdayaan teologis (theology empowerment) sangat menonjol dalam aspek ini. Pengawasan yang bersifat vertikal ini akan sangat efektif terhadap aktifitas bisnis yang kadang-kadang rentan terhadap kolusi dan manipulasi.
Prinsip di atas akan berimplikasi terhadap implementasi prinsip dasar dalam aktifitas mu’amalah. Prinsip dasar tersebut ialah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, dengan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi dalam segenap aktifitas bisnis yang dihadapi. Tidak mempersulit manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an : Dia sekali-kali tidak menjadikan bagimu suatu kesempitan dalam agama. (QS. Al-Hajj (22) : 78). Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran dan saling membantu demi solidaritas bersama.
Kedua, aktifitas ekonomi yang dilakukan dilandasi oleh nilai-nilai humanistik (al-akhlaq al-karimah). Seorang muslim dituntut menampilkan akhlak yang baik, karena inilah yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan, berkenaan dengan fungsinya sebagai khalifatullah fi al-ardh, khalifah Tuhan di muka bumi (QS. Al-Baqarah (2) : 30). Membumikan prinsip-prinsip persamaan dalam aktifitas ekonomi yang berkenaan dengan hak dan kewajiban (equality before rights).
Ketiga, tidak merugikan dan mengeksploitasi manusia dalam berbagai bentuk bidang usaha. Prinsip ini dimaksudkan supaya para pelaku ekonomi dalam berusaha bergerak dalam batas-batas yang ditentukan syari’at. Penipuan (gharar), manipulasi, dan kecurangan-kecurangan, serta penimbunan barang oleh pedagang (ihtikar) tidak mewarnai aktifitas ekonomi. Dengan demikian setiap pihak merasakan ketenteraman berusaha dan menjamin kemaslahatan bersama.
Keempat, kegiatan mu’amalah yang dilakukan didasarkan atas adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Asas suka sama suka untuk melakukan kegiatan bisnis atau perniagaan sangat penting. Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini yang dapat menimbulkan kerugian masing-masing. Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan (mempertukarkan) harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. (QS. Al-Nisa’ (4) : 29)
Asas kerelaan (‘an taradhin minkum) dalam mu’amalah sangat penting. Keabsahan suatu aktifitas mu’amalah turut dipengaruhi oleh aspek ini. Sesungguhnya implementasi ijab-qabul mencuat dalam penerapan prinsip ini.
Kelima, asas persaudaraan dan keadilan universal. Berbagai bentuk usaha yang dilakukan didasarkan atas prinsip membangun kemitraan dan solidaritas global serta prinsip keadilan universal.
Dalam Islam ditegaskan bahwa secara esensial manusia berasal dari satu keturunan yaitu Adam dan Hawa. Atas dasar ini, manusia sebenarnya merupakan satu keluarga. Keluarga besar dalam komunitas dunia. Untuk itu, asas persaudaraan dan keadilan dalam berbagai bentuk bidang usaha harus ditegakkan tanpa diskriminasi rasial, suku, ataupun agama.
Keenam, produk barang atau jasa adalah sesuatu yang halal dan ditolerir oleh agama (QS. al-Baqarah (2) : 168). Baik cara memperoleh input, pengolahannya dan outputya harus terbukti halal. Karena pada dasarnya seluruh yang baik itu dihalalkan, sedangkan yang akan merusak dan kotor-kotor diharamkan. Perdagangan minuman keras, babi, obat-obat terlarang dan yang sejenisnya seyogianya dijauhi dan dihindari.
Ketujuh, berbagai bentuk dan bidang usaha yang dilakukan memberi manfaat kepada orang lain. Kegiatan usaha yang dilakukan bukan semata mengandung unsur bisnis tetapi seyogianya dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada setiap anggota masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya (basic needs fulfillment). Aspek ini dalam Islam sangat diperhatikan dengan memberi kemudahan kepada orang lain tanpa mempersulit. Tidak ada unsur kemudaratan dilakukan yang bisa berakibat tidak baik kepada orang lan.
Kedelapan, kegiatan usaha yang dilakukan juga dilandasi dengan prinsip untuk saling membantu dan menolong. Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah bertolong-tolongan dalam perbuatan dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah (5) : 2).
Kesembilan, kegiatan ekonomi dalam Islam menganut prinsip untuk merealisasikan keseimbangan (equilibrium) antara kepentingan individu dan masyarakat. Dalam Islam, distribusi pendapatan dan kekayaan merata. Terhadap warga masyarakat yang secara ekonomi tidak beruntung, Islam meletakkan kewajiban kepada penguasa untuk memberikan jaminan standar kehidupan minimal.
Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menolak akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berbeda dengan sistem Kapitalis, pada kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tanpa terkecuali sektor industri yang merupakan kepentingan umum.
Egoisme, keserakahan, dan monopoli dalam sentra-sentra ekonomi tidak dapat ditolerir dalam Islam. Krisis dan ambruknya sistem yang pernah mapan turut dipicu oleh merajalelanya penguasaan sentra-sentra ekonomi pada segelintir orang. Kompetisi merupakan sesuatu hal yang lumrah, tetapi pengutamaan kepentingan masyarakat di atas kepentingan individual tidak bisa diabaikan.
Kesepuluh, seluruh bentuk kegiatan usaha dan bisnis yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam (QS. Ali Imran (3) : 32). Asas tidak melawan hukum dan syari’at ini sangat penting. Seluruh bentuk dan ragam perbuatan yang dilarang dalam Islam tidak bercampur aduk dalam bisnis.
Sumber nilai dalam hal ini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Seluruh aktifitas ekonomi didasarkan pada konfirmasi dari wahyu. Karena pada prinsipnya, segala sesuatu yang ditolerir sudah pasti mengandung kemaslahatan. Apabila muatan atau indikator kemaslahatan (al-mashlahah) ada dalam bidang mu’amalah, maka itulah sebenarnya yang dituju oleh hukum syara’, karena Islam disyari’atkan memang untuk kemaslahatan manusia secara universal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.


______________________

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda