DR.Efrinaldi, Pemikiran Politik Islam

Jumat, 10 April 2009

MINANGKABAU 2020


MINANGKABAU 2020


(Sebuah Refleksi Futuristik)

Dalam “The Global Paradox”, John Naisbitt menangkap gejala bahwa di tengah proses globalisasi yang melanda dunia sekarang tumbuh kekuatan-kekuatan etnisitas dalam masyarakat bangsa. Semangat etnis Perancis Quebec tumbuh kuat di Kanada, kebangkitan suku etnis di ex-Uni Soviet, munculnya suku Croatia, Serbia, dan Bosnia di ex-Yugoslavia dan seterusnya. Seiring dengan gerak laju proses globalisasi, semakin gencar pula tumbuh kekuatan etnis yang ingin memelihara identitasnya di tengah proses uniformitas budaya global.
Kekuatan etnisitas yang muncul merupakan sesuatu yang lumrah. Sudah merupakan keharusan semangat zaman globalisasi untuk mengakomodasi etnisitas dalam rangka persatuan bangsa di tengah gerak laju proses globalisasi tersebut. Pengembangan etnisitas kedaerahan dipertautkan dengan nasionalisme bangsa.
Dalam hubungan ini masyarakat Minangkabau terlihat memiliki kekuatan etnisitas yang homogen. Watak etnisitas Minang bersifat inklusif, menerima secara terbuka unsur-unsur luar, dengan solidaritas berlapis-lapis. Fleksibelitas dalam perwatakan etnis Minang terimplementasi dalam sikap “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung”.
Perwatakan Minang sekilas terlihat sebagai prilaku oportunistik. Secara substantif, watak tersebut mencerminkan realisme bahwa manusia hidup dalam berbagai lingkaran kehidupan, seperti kehidupan pribadi, keluarga, suku, kampung, dan seterusnya. Seabagai masyarakat yang berbudaya merantau, dalam pola migrasi etnis ini, penegakan solidaritas menjadi unsur penting bagi kelanjutan hidup. Solidaritas global yang tercipta menjadi fondasi masyarakat Minang, terutama para perantau, dalam membantu sanak-keluarga di kampung halaman. Dengan demikian, prediksi John Naisbitt mengindikasikan bahwa secara positif saluran semangat etnisitas memang tumbuh semakin kuat mencuat dalam suasana ketunggalan bangsa dan globalisasi dunia di masa mendatang.

Adat dan Budaya Minangkabau
Dalam proses perubahan nilai dan struktur masyarakat di masa mendatang era 2020-an, perubahan itu akan semakin beralih ke arah terbentuknya suatu masyarakat dan tata-nilai yang baru. Masyarakat dan nilai-nilai subkultur Minangkabau pada satu pihak bisa merupakan subjek dari perubahan-perubahan itu, tapi pada pihak lain tidak terelakkan juga akan atau telah menjadi objek perubahan-perubahan.
Dalam menempati posisi sebagai objek perubahan-perubahan di masa depan, masyarakat Minangkabau harus mampu mempertahankan nilai-nilai budayanya yang esensial tanpa mengucilkan diri. Nilai tidak selalu terletak pada struktur dan sistem, tetapi juga dalam semangat dan pendekatan-pendekatan. Perubahan sistem bisa terjadi tapi jangan perubahan itu memupus nilai-nilai yang esensial.
Sebaliknya, dalam menempati posisi sebagai subjek perubahan, masyarakat Minangkabau harus mampu menempatkan dan memberi makna secara lebih luas dan langgeng nilai-nilai adat dan budayanya, sehingga akhirnya nilai-nilai tersebut akan tetap relevan dalam mengahadapi tantangan masyarakat budayanya sendiri dan masyarakat budaya lain. Nilai-nilai tersebut tidak secara otomatis muncul dan dapat disumbangkan hanya melalui sesuatu yang verbalis, tetapi mesti melalui pendeskripsian dan analisis yang mendalam melalui kaitan kajian kemasyarakatan.
Masyarakat Minang memang merupakan masyarakat yang tribal, bersuku-suku, demokratis, fraternalistis, dan desentralistis. Kekuasaan di Minangkabau terdapat di nagari-nagari (republik-republik kecil di desa). Kekuasaan dibagi secara fungsional: ninik-mamak mengurus adat, alim-ulama mengurus agama, cerdik-pandai mengurus masalah keduniawian, dan manti/dubalang menguus keamanan nagari.
Bagi masyarakat Minang, alam terkembang dijadikan guru. Ini memperlihatkan bahwa semua unsur alam memiliki peranan masing-masing dan saling berhubungan. Keselarasan dalam masyarakat tidak terdapat dalam tingkatan-tingkatan, tetapi pada hubungan dalam eksistensi masing-masing. Perbedaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosialnya akan tetapi oleh fungsinya. Saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tetapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok tetapi tidak saling meleburkan.
Keselarasan dalam tatanan adat dan budaya Minangkabau tidaklah suatu jagad yang hirarkis, tetapi adalah sebuah mozaik. Setiap unsur jagad berdiri dengan perannya yang berlainan hadir dalam suatu harmoni. Dalam abad milenium ini, masyarakat Minang yang konsisten dengan adat dan budayanya yang orisinil akan tetap survive dengan peran dan fungsinya yang selaras.
Orang Minangkabau menyebut masyarakatnya dengan Alam Minangkabau dan menyebut kebudayaannya dengan Adat Minangkabau. Penyebutan yang demikian menunjukkan bahwa orang Minangkabau melihat diri dan masyarakat sebagai bagian dari alam, maka hukum-hukum alam yang ada juga berlaku bagi masyarakat Minangkabau. Dasar filsafat mereka menunjukkan: alam terkembang jadi guru.
Menurut sifat dasarnya memang adat Minangkabau terdiri dari dua jenis. Pertama, adat yang berbuhul mati. Adat ini tidak akan berubah, tidak mungkin dungkai. Pepatah Minangkabau mengatakan bahwa adat “tak lekang dek (oleh) panas dan tak lapuk dek hujan.” Adat yang berbuhul mati ini terbagi atas adat yang sebenarnya adat, yaitu seluruh hukum dan sifat alam; dan adat yang diadatkan , yaitu seluruh ajaran dari pendiri dan permus adat Minangkabau, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Kedua, adat yang berbuhul sentak. Adat ini merupakan penjabaran dari adat yang berbuhul mati. Rumusan dari penjabaran itu dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah menghasilkan norma-norma, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga.
Kemudian dalam menyusun ajaran tersebut kedua Datuk berpegang kepada adat nan sebenarnya adat, kepada sifat dan hukum-hukum alam. Proses itulah yang disebut alam terkembang jadi guru.
Pada dasarnya filosofi “alam terkembang jadi guru” ini merupakan cerminan bahwa orang Minangkabau tidak akan pernah kehilangan tongkat. Tongkat itu bisa jadi ilmu, sedang ilmu muaranya adalah kebenaran. Alam merupakan seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pengalaman dan kondisi ketika dihirupnya alam itu. Jadi, kultur Minangkabau tidak akan mati, jika orang Minang masih berguru kepada alam.
Seandainya orang Minang lari dari budayanya, namun ia sangat mudah untuk kembali, meskipun ia telah mengambil atau melahirkan kultur baru yang tidak sesuai dengan kulturnya. Dalam realitas, orang Minang ternyata tidak pernah lari dari kulturnya. Dengan kata kunci, “kembali berguru ke alam”, perubahan itu dapat dilakukan dengan putaran maksimal, spontan atau revolusi.
Pada prinsipnya, adat Minangkabau bersifat terbuka dalam menghadapi perubahan-perubahan. Dari dimensi adat yang berbuhul mati, yang secara holistik merupakan adat yang tak bisa diubah, yang bersumber dari sifat dan hukum alam. Sementara sifat dan hukum alam itu sendiri adalah kefanaannya dan keterbukaannya terhadap perubahan-perubahan. Adat yang berbuhl sentak, adat yang bisa diubah, sebagai penjabaran dari adat yang bisa diubah berdasarkan masyawarah.
Sendi adat yang demikian menyebabkan masyarakat Minangkabau menjadi sangat terbuka. Kritik korektif dan konstruktif terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak benar justru datang oarang-orang Minangkabau sendiri. Daya perubahan ke arah pembaruan suatu kebudayaan, seperti dikatakan Sudjatmoko (1983) berakar kepada vitalitas kebudayaan itu sendiri. Modernitas di dalam adat atau kebudayaan Minangkabau di masa depan, tidak hanya lahir oleh sesuatu yang berasal dari luar, tetapi juga ditentukan oleh apa yang ada di dalam adat atau tradisi Minangkabau. Tradisi harus tetap baru, dan kebenaran adalah bagian dari tradisi itu sendiri.
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang sangat cepat di masa datang, peralihan masyarakat dan kebudayaan yang agraris ke masyarakat dan kebudayaan industri dan informasi memang mengharuskan terjadinya proses aktualisasi ajaran-ajaran adat Minangkabau dan diciptakannya atau diaksentuasikan idom-idiom baru dari ajaran-ajaran adat tersebut. Suatu proses perubahan masyarakat dan kebudayaan sedang dan akan terjadi di dalam masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Proses perubahan itu bersifat substansial. Dalam menghadapi proses perubahan itu tidak bersikap lari ke masa silam, tapi bersikap jernih dan realistis.
Memang, pada hakekatnya adat Minangkabau selama ini adalah produk dari “alam Minangkabau” yang agraris. Masyarakat dan kebudayaan modern menunjukkan perkembangan ke arah masyarakat industri dan masyarakat informasi menuju suatu proses globalisasi. Segmen masyarakat tersebut bernuansa sesuai dengan karakteristiknya.
Kemiskinan dan kesenjangan sosial akan merupakan tantangan utama dalam perkembangan masyarakat mendatang, sesuatu yang di dalam masyarakat agraris Minangkabau tidak begitu menjadi persoalan. Di dalam masyarakat Minangkabau yang agraris, masalah itu bisa diselesaikan dan menjadi tanggung jawab rumah-tangga. Di dalam Minangkabau agraris tanah akan menjadi modal utama. Di dalam masyarakat industri yang menjadi persoalan bukan lagi tanah tapi adalah modal itu sendiri, sedang dalam masyarakat informasi yang diperlukan adalah keahlian. Persoalan-persoalan itu tidak hanya bisa ditanggulangi dan menjadi tanggung jawab rumah tangga. Permaslahan harus dipecahkan secara global.
Masalah modal, keahlian, dan penguasaan tekonologi merupakan permasalahan pendidikan yang akan menentukan di dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan saat ini dan di masa-masa mendatang. Kualitas manusia menjadi amat menentukan dalam menghadapi dan merebut masa depan yang lebih baik.

Nilai-nilai Religiusitas dan Tatanan Adat Minangkabau
Dalam beberapa dasawarsa mendepan, dinamisasi syara’ (nilai-nilai religiusitas) dalam adat Minangkabau akan tetap sangat berpengaruh. Kenyataan ini terlihat dalam falsafah ajaran “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.” Permasalahan-permaslahan yang dihadapi sebagai konsekwensi logis dari dinamika perubahan sosial yang makin cepat, secara operasional masyarakat Minang akan bertumpu pada filosofi tersebut. Ajaran itu jangan hanya sekedar slogan, tetapi sudah seyogianya menjadi dinamisator dan motivator dalam dinamisasi masyarakat di masa-masa mendatang. Kualitas manusia dengan SDM yang handal merupakan keyword untuk menyongsong masa depan. Idiom-idiom baru dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran adat Minangkabau tetap sangat signifikan.
Falsafah hidup masyarakat Minangkabau tetap “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.” Orang Minangkabau merasa bahwa falsafah hidup itu merupakan warisan budaya yang amat berharga dan mesti dipelihara. Dengan falsafah hidup itu, masyarakat Minang juga merasa bahwa mereka “lain” dari masyarakat mana pun.
Falsafah itu sekaligus sebagai pembentuk identitas dan menjadi rujukan dari setiap tingkah laku masyarakat Minangkabau. Setiap aktifitas, prakarsa, dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan falsafah adat tersebut. Namun, sudah seyogianya falsafah itu tidak terbatas hany berfungsi sebagai filter atau sebagai rambu-rambu saja, tetapi lebih jauh juga harus mampu berperan sebagai sumber kreatifitas, sumber elan-vital, dan motivator dari proses dinamisasi masyarakat.
Kalau peran itu yang dikedepankan, maka orientasi adat tidak lagi hanya ke masa lalu, tetapi jauh ke masa depan. Dengan peran itu akan mampu menjelaskan dan menjawab fenomena-fenomena kebudayaan dan tantangan-tantangan masa depan sebagai implikasi dan konsekuensi dari perubahan dan perkembangan kebudayaan itu. Dengan demikian ajaran adat akan tetap aktual, tidak akan menjadi usang.
Dinamika dan fleksibelitas perkembangan Islam ditandai dengan pola “bi al-hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah.” Ini menimbulkan daya tarik tesendiri bagi para fungsionaris adat. Basis-basis Islam makin kuat di Minangkabau. Faktor utama penyebabnya karena “pada hakekat ajaran-ajaran yang dianut oleh agama Islam tidaklah merupakan ajaran yang bertentangan dengan adat Minangkabau, yang berdasarkan kepada budi pekerti yang baik…” (Harian Pelita, 9 Maret 1982).
Tatanan adat Minangkabau banyak diwarnai oleh syari’at Islam. Mochtar Naim (1968) mengatakan,”…sehingga kalau kita menyelidiki adat-istiadat Minangkabau, atau kebudayaan Minangkabau, kita akan melihat betapa usaha-usaha orang Minangkabau agar agamanya mempengaruhi adatnya.
Perpaduan pola agama dan ketentuan adat itu mengejawantah menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat dalam melahirkan karya, cipta, dan karsa. Tegasnya, adat dan agama telah menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau. Karena inilah Minangkabau terkenal dengan agamanya yang kuat dan adatnya yang kokoh.
Selama ini orang Minangkabau hidup harmonis di bawah payung kebesaran Minangkabau yang terpatri lewat adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas. Hendaknya, pondasi keyakinan adat dan agama orang Minangkabau, yang kalau diibaratkan seperti “baja” yang tak akan lapuk oleh hujan dan tak akan lekang disinari panas, tidak berkarat hanya diterpa panas-dinginnya suhu kehidupan budaya, ekonomi, sosial-politik, dan pertahanan-keamanan.
Sesuai dengan stelsel matrilineal yang dipangku oleh masyarakat Minangkabau, birokrasi kehidupan sebenarnya dikendalikam oleh ketiga fungsional adat, tigo tali sapilin, tigo tungku sajarangan tersebut di atas: ninik-mamak, alim-ulama, dan cerdik-pandai, serta urusan “kaum pemilik rumah gadang” dikomandoi oleh bundo kanduang.
Ketiga komponen itu bahu-membahu menentukan gerak maju kehidupan masyarakat di masa depan dalam pelaksanaan pembangunan maupun menentukan langkah-langkah perencanaan pembangunan dalam arti yang luas. Sistem dan struktur masyarakat Minangkabau secara fungsional memerlukan persyaratan kualitatif dari unsur kerangka tiga tali sepilin tiga tungku sejarangan, hukum adat, kaidah agama, dan peraturan menjadi satu-kesatuan pilihan hukum masyarakat Minangkabau.
Dari sudut behavioral lembaga adat tersebut sudah lama tidak berfungsi menurut semestinya. Eksistensi fungsionaris adat yang legitimate, secara sadar telah bergeser oleh faktor-faktor internal maupun faktor-faktor eksternal. Wajah Minangkabau yang seyogianya terimplementasi dari gaya hidup dan problematika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Minangkabau itu sendiri. Berbagai peristiwa “sensasional” membawa masyarakat Minangkabau ke penjelejahan identitas atau jati diri baru di atas jati diri lama yang boleh disebut sudah “tercabik-cabik”.
Unsur raso jo pareso, raso yang berpangkal dari hati nurani terjelma melalui budi pekerti, dan pareso yang dilandasi oleh pikiran dan pertimbangan-pertimbangan yang menjadi prinsip dasar tindak kerja (perbuatan) masyarakat Minangkabau kini terkadang terinfiltrasi oleh berbagai kepentingan yang subjektif.
Oleh karena itu, jika Islam mempengaruhi tatanan adat secara mendasar, maka keyakinan akan adanya kekuatan transendental tetap menimbulkan darah baru (new blood) dalam denyut-nafas dinamika tatanan adat. Falsafah adat yang banyak didasarkan pada pikiran dan rasa menjadi sempurna diwarnai oleh keyakinan agama.
Syara’ memberi warna baru bagi falsafah adat. Hal ini dapat dianlisis dalam pepatah: “iduik baraka, mati beriman” (hidup berakal, mati beriman). Pepatah adat yang sebelumnya hanya mengungkap, di waktu mati manusia meninggalkan nama baik, disempurnakan oleh syara’ dengan pentingnya amal saleh selama hidup di dunia untuk kehidupan akhirat, ke masa depan yang lebih jauh di balik kehidupan dunia ini.
Atas dasar ini, masyarakat akan berusaha mengidentifikasi tingkah laku dan kebiasaan yang telah membudaya kepada sendi-sendi syara’. Dasar-dasar adat tetap hidup dan dipelihara dengan diberi warna oleh nilai-nilai religiusitas Islam.
Kultur, Alam, dan SDM Minangkabau Mendatang
Pusat-pusat kebudayaan Minangkabau di masa depan akan mengalami perubahan. Pusat kebudayaan yang dalam sejarah bisa didapati di rumah-rumah gadang dan sasaran-sasaran (gelanggang atau medan) yang menjadi milik kaum, surau dan madrasah, di masa depan nuansa akademis akan menonjol dalam pusat studi budaya Minangkabau di lembaga-lembaga yang independen, selain di Pemerintahan Daerah, beberapa universitas, dan lembaga-lembaga lain. Untuk mendapatkan ilmu dan beroleh kemajuan, berkembang pula suatu tradisi merantau gaya baru. Orang pergi bermigrasi meninggalkan kampung halamannya—sebagaimana yang sudah menjadi tradisi—untuk studi dan makin gencar menuntut ilmu. Pusat-pusat kebudayaan tidak lagi hanya berada di Minangkabau saja.
SDM orang-orang Minang yang beroleh pendidikan di pusat-pusat kebudayaan di luar alam Minangkabau akan kembali melakukan perenungan yang kreatif yang bersikap kritis terhadap alam dan adat Minangkabau. Sekitar tiga dasawarsa sebelum ini, muncul novel-novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan sejumlah novel Balai Pustaka lainnya yang mempersoalkan adat, di masa depan akan lebih gencar lagi, tetapi dalam upaya mengadaptasi nilai-nilai adat dengan kebudayaan era 2020.
Perenungan yang kreatif terhadap tradisi bukan saja akan menghasilkan agenda tindakan, tetapi juga kontrol sampai di mana perubahan itu harus berjalan. Seandainya suatu perubahan tanpa diinginkan terjadi, maka perubahan itu akan dilihat sedemikian rupa sehingga bukan saja secara kultural bisa dimengerti, tetapi juga pengadaptasiannya ke dalam perbendaharaan kultural yang tidak merusak.
Sumatera Barat memang adalah daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang kaya melimpah. Berbagai sumber mineral yang dimilikinya terbatas dan dangkal. Secara geologis daerah ini terapung di atas lempeng tektonis yang rawan gempa. Kawasan pertanian yang datar terbatas dihimpit oleh Bukit Barisan dan pantai yang sempit. Jika pembangunan daerah semata didasarkan pada pertanian tradisional yang bertumpu pada air dan tanah, kemungkinan menaikkan pendapatan penduduk menjadi terbatas. Ini menyebabkan kenapa penduduk miskin masih terdapat banyak di daerah ini.
Keadaan itu juga menjelaskan mengapa kebanyakan penduduk mencari nafkahnya dalam menjual jasa, seperti dalam sektor perdagangan, restoran, sebagai pegawai negeri, dan intelektual. Sifat pekerjaan menjual jasa seperti itu tidak punya akar (foot loose) sehingga bisa berkembang di perantauan.
Dua kelompok masyarakat kemudian tumbuh dan berkembang. Ada sebagian yang tinggal di kampung dengan tingkat kebudayaan yang terbatas. Adapula sebagian yang merantau dan untuk survive diharuskan bekerja, belajar, dan berusaha keras. Tantangan pengembangan masyarakat ke depan era 2020 adalah mengembangkan sinergi antara dua kelompok masyarakat ini sambil menumbuhkan solidaritas etnis.
Pada dasarnya masyarakat Minang adalah captive market yang bisa diandalkan. Perkembangan budaya dalam masyarakat juga menanamkan pendekatan baru dalam pembangunan yakni knowledge based development. Pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan nilai tambah yang dihasilkan berkat penerapan ilmu pengetahuan.
Dalam aspek ini terbuka masa depan yang cerah bagi pembangunan daerah Sumatera Barat. Daerah ini memiliki ratusan cendikiawan yang bertitel Ph.D dan ribuan lagi bertitel sarjana. Ilmu yang dimiliki para lulusan perguruan tinggi ini perlu ditransformasikan menjadi kesempatan menghasilkan nilai tambah atas sumber daya alam atau bahan yang diimpor dari luar.
Sumatera Barat memang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah. Akibat keadaan geografi yang miskin sumber mineral, akibat sejarah yang menempatkan Sumatera Barat sebagai daerah yang pernah “nakal” membangkang terhadap Pusat, dan efek dari perkembangan nuansa pendidikan yang gandrung religius dengan rasonalitas, tumbuh masyarakat Minang yang bisa menjadi modal sosial yang memberikan dharma-baktinya tidak hanya pada daerah Sumatera Barat, tetapi juga pada daerah-daerah lain di seantero tanah air melalui kehadiran para perantaunya. Sumatera Barat memerlukan antisipasi atau terobosan yang jitu menuju masa depan yang menjanjikan. Dengan pemilikan terhadap sumber daya manusia dengan keterampilan dan keilmuan di masa depan, kalau ini dipertahankan akan makin tetap eksis. Bahan baku dan sumber daya alam bisa dimasukkan dari daerah lain dan dengan sentuhan tenaga manusia yang memiliki ilmu dan teknologi di Sumatera Barat bisa dikembangkan nilai tambah atas bahan baku yang diimpornya.
Pola pembangunan Singapura yang menekankan skill sebagai pembangkit nilai tambah terhadap sumber daya alam yang diimpornya dari negara lain menjadi contoh model pembangunan yang bisa ditempuh Sumatera Barat.
Segala usaha yang berbasis pengetahuan hasil otak manusia perlu dikembangkan sebagai pemicu pembangunan daerah, seperti restoran, perdagangan, pariwisata, kesehatan, pendidikan, agama, dan lain-lain. Hakikat pokok strategi pembangunan Sumatera Barat perlu bertmpu pada human skill and knowledge based development.
Sumatera Barat di masa depan akan dapat tampil menjadi sentra pendidikan, pengembangan agama, electronic commerce, ekonomi bar
u, budaya dan aktifitas lain yang mengandalkan ilmu pengetahuan. Ringkasnya, “industri otak” bisa menjadi sangat dominan mempengaruhi pembangunan Sumatera Barat masa depan.

Bibliografi
Chandra, Ade, dkk., Minangkabau dalam Perubahan. Padang: Yasmin Akbar, 2000.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti 1984.
Naim, Mochtar, Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara. Bukittinggi: Panitia Seminar, 1980.
Norman, Colin, Technology Transfer: Its Impact on Third World Employment. Washington DC: Worldwatch Institute, 1978.
Sudjatmoko. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1983.







Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda