DR.Efrinaldi, Pemikiran Politik Islam

Jumat, 10 April 2009

KIPRAH PERBANKAN SYARI’AH

KIPRAH PERBANKAN SYARI’AH
Oleh: DR. Efrinaldi, M.Ag.
(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang dan Researcher pada The Center for Research and Management Training (CRMT), Jakarta)


Dinamika dan kiprah bank syari’ah dewasa ini memperlihatkan secercah harapan untuk memainkan peran yang lebih besar dalam mengembangkan perekonomian masyarakat. Harapan itu mencuat, karena perkembangan bank syari’ah didukung dengan semakin membaiknya situasi perbankan pasca krisis moneter yang melanda dunia perbankan nasional. Di antara indikatornya adalah tingkat bunga yang bisa ditekan rendah. Dalam hal ini, bank syari’ah ternyata tumbuh dengan pesat, seiring dengan semakin rendahnya tingkat bunga bank konvensional.
Pembicaraan tentang peluang dan maraknya perbankan dengan sistem syari’ah sangat sekuensial dengan lahirnya pada waktu itu UU No. 10 tahun 1998. Perundang-undangan ini memberikan fondasi yang kuat bagi perkembangan jaringan perbankan syari’ah di Indonesia, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Bank syari’ah, dalam hal ini, diharapkan mampu membuktikan dirinya menjadi bank alternatif. Pengembangan perbankan syari’ah, diharapkan dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional, yang pada saat terjadi krisis keuangan, bank syari’ah dapat megurangi problema systemic risk. Selain itu, preferensi masyarakat terhadap bank syari’ah mulai cukup tinggi.
Dalam perspektif Islam, aktifitas finansial dan perbankan dalam dunia modern seperti sekarang ini mengandung dua prinsip, yaitu al-ta’awun dan menghindari al-iktinaz. Prinsip al-ta’awun dimaksudkan sebagai sikap saling membantu dan saling bekerjasama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan. Prinsip menghindari al-iktinaz adalah menahan dana dengan membiarkannya menganggur tanpa diproduktifkan dalam suatu transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
Dalam prinsip operasionalisasi bank syari’ah, pelarangan riba sangat tegas. Demikian juga bisnis dan aktifitas perdagangan (trade) harus berbasis pada orientasi profit yang sah menurut syari’ah, serta adanya kewajiban zakat.
Sistem perbankan syari’ah memiliki prinsip-prinsip operasional yang khas (Luca Errico and Mitra Farahbakhs, Islamic Banking: Issues in Prudential Regulations and Supervision, 1998: 6-11). Ini dapat ditinjau dari sisi pengerahan dana masyarakat (funding) atau sebagai suatu sistem penghimpunan dana bank syari’ah dan dari sisi penyaluran dana kepada masyarakat (financing) atau sistem pembiayaan perbankan syari’ah.
Dari aspek pengerahan dana masyarakat terlihat adanya prinsip al-wadi’ah untuk simpanan lancar dan prinsip al-mudharabah untuk simpanan diinvestasikan (Karnaen A. Perwataatmadja, 1992:129). Prinsip al-wadi’ah dalam hal ini diartikan sebagai titipan dana atau amanat dari salah satu pihak kepada pihak lain untuk menjaganya dengan baik, yang setiap waktu dapat ditarik pemiliknya dengan cara mengeluarkan cek, pemindahbukuan/transfer, dan perintah membayar lainnya (Al-Syarbaini al-Khathib, Mughni al-Muhtaj, 1978, III:79). Prinsip ini dimplementasikan pada rekening simpanan lancar atau giro (current account) dan rekening simpanan atau tabungan berjangka (saving account).
Secara umum, bank syari’ah menggunakan akad al-wadi’ah ini pada rekening giro. Pembukaan rekening giro oleh nasabah berarti melakukan akad al-wadi’ah atau titipan amanah. Sedangkan dalam bentuk tabungan, selain mengikuti prinsip al-mudharabah, juga dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek dengan pembiayaan bank syari’ah. Dalam konteks ini, penyimpan dana berhak atas bagi hasil dari usaha bank yang non-fixed return. Apabila proyek-proyek atas pembiayaan bank itu memperoleh keuntungan, maka penyimpan dana akan dapat bagian, yang secara probabilitas bisa lebih besar dari tingkat bunga deposito pada bank konvensional.
Sedangkan prinsip al-mudharabah (trustee profit sharing) mengacu kepada bentuk simpanan diinvestasikan. Simpanan dalam bentuk deposito memakai prinsip al-mudharabah. Deposito al-mudharabah merupakan simpanan pada bank, yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang ditetapkan. Pada prinsip ini ada pihak yang menyediakan dana saja (shahib al-mal) dan ada pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan usaha saja (mudharib).
Dalam kontrak al-mudharabah, seorang mudharib (entrepreneur) memperoleh modal dari suatu unit ekonomi untuk tujuan melakukan perniagaan atau menjalankan perusahaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Profit yang diperoleh dibagi sesuai dengan ratio laba yang disepakati bersama.
Kontrak al-mudharabah terlihat sebagai suatu bentuk equity financing. Prinsip al-mudharabah juga diterapkan pada rekening simpanan berjangka waktu (investment account) dan simpanan bersyarat (saving account).
Aspek penyaluran dana dan pelayanan bank kepada masyarakat setidaknya ada lima prinsip. Prinsip ini merupakan sumber pendapatan bank, yaitu: pertama, prinsip bagi hasil dari al-musyarakah (joint venture profit sharing) dan al-mudharabah sebagai penyaluran dana yang diperoleh dari penyimpan dana.
Prinsip al-mudharabah diterapkan kepada semua jenis pembiayaan penuh tanpa intervensi pengelolaan bank pada suatu usaha atau proyek dengan jangka waktu yang fleksibel dengan sistem bagi hasil menurut perjanjian. Kredit al-mudharabah atau kredit al-qiradh merupakan kredit yang disepakati antara bank dengan pengusaha, dengan penyediaan pinjaman modal investasi dan modal kerja dari bank, sedangkan pihak pengusaha mempersiapkan proyek atau usaha dengan para profesional, dengan dasar ketentuan bagi hasil. Pihak penerima kredit al-mudharabah melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Dalam prinsip al-mudharabah ini, bank terlihat menyalurkan modal dari pemilik dana yang tidak mengetahui seluk-beluk usaha, tetapi mempunyai modal, kepada pengusaha yang ahli di bidang tertentu, tetapi tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengembangkan usahanya.
Prinsip al-musyarakah diaplikasikan pada semua jenis pembiayaan dengan intervensi pengelolaan bank pada suatu usaha atau proyek dengan sistem bagi hasil menurut porsi yang ditetapkan. Dalam operasional perbankan, al-musyarakah atau al-syirkah diartikan sebagai suatu perjanjian kesepakatan bersama antara bank dengan beberapa pemilik modal (nasabah) untuk menyertakan modalnya (equity financing) untuk membiayai suatu jenis proyek atau usaha yang halal dan produktif, dengan resiko dan keuntungan dibagi secara berimbang.
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih—bank dan lembaga-lembaga keuangan serta nasabahnya—dapat mengumpulkan modal untuk membentuk suatu perusahaan (syirkah al-inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak mempunyai bagian sesuai dengan kontribusi modal dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan secara proporsional. Al-musyarakah sangat efektif untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam investasi, sehingga dari sumber dana yang dapat dikerahkan—dari masyarakat bersama-sama dengan mitra usaha yang lain— dapat disalurkan ke proyek-proyek investasi, untuk menunjang program pembangunan melalui cabang-cabang perusahaan, yang berbentuk institusi finansial selain bank dan lembaga pembiayaan.
Kedua, prinsip pengambilan keuntungan dari al-murabahah dengan pembayaran tangguh (lump sum deferred payment) dan al-bai’ bitsaman ajil dengan pembayaran diangsur (installment deferred payment).
Secara khas, al-murabahah merupakan kontrak jual-beli dengan penyerahan barang segera, sedangkan harga terhadap barang tersebut dibayar di kemudian hari sekaligus. Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual, sedangkan nasabah sebagai pembeli, dengan penangguhan pembayaran yang dilakukan secara sekaligus. Pada dasarnya , al-bai’ bitsaman ajil merupakan kontrak al-murabahah dengan penyerahan segera barang yang diperjualbelikan tersebut, sedangkan harga atas barang dibayar di kemudian hari secara angsuran.
Prinsip al-murabahah diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh yang merupakan alokasi dana untuk pengadaan barang, ditambah profit yang disepakati dengan sistem pembayaran tangguh. Al-murabahah ini terlihat sebagai suatu perjanjian kredit yang disepakati antara bank dengan nasabahnya, dengan penyediaan pinjaman dana dari bank untuk membeli barang apapun yang dibutuhkan penerima kredit, untuk dibayar kembali pada waktu jatuh tempo. Al-murabahah ini bertujuan untuk mendukung pengembangan para pengusaha produsen di bidang pertanian, perikanan, industri kecil, dan lain-lain dengan cara menyediakan fasilitas kredit tanpa penyimpangan bagi pengusaha yang ketika memerlukan tambahan barang, tidak mempunyai cukup dana.
Adapun prinsip al-bai’ bitsaman ajil diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh, yang merupakan alokasi dana untuk pengadaan barang, ditambah profit yang disepakati dengan sistem pembayaran cicilan. Al-bai’ bitsaman ajil terlihat sebagai suatu perjanjian kredit yang disepakati antara bank dengan nasabahnya, dengan pinjaman dana dari bank untuk membeli barang apa pun yang dibutuhkan penerima kredit, untuk dibayar kembali pada waktu jatuh tempo secara cicilan. Ownership dari asset dialihkan oleh bank kepada nasabah, dengan aturan selama angsuran belum lunas, asset tersebut dijadikan agunan.
Ketiga, prinsip pemungutan biaya administrasi atas pinjaman dan kebaikan, tanpa tambahan biaya yang diberikan bank (al-qardh al-hasan). Prinsip ini merupakan perjanjian kredit antara bank dengan nasabah, yang dianggap layak menerima pinjaman lunak, baik itu pengusaha agar usahanya dapat bangkit dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, maupun untuk perorangan yang dalam keadaan terdesak. Al-qardh al-hasan diterapkan pada semua jenis pembiayaan penuh atau sebagian yang merupakan dana tunai atau untuk pengadaan barang disertai kewajiban membayar biaya administrasi dengan sistem pembayaran tangguh atau cicilan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Al-qardh al-hasan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nasabah akan uang tunai, baik untuk kepentingan konsumtif, seperti keadaan mendesak untuk membiayai perkawinan, rumah sakit, maupun untuk kepentingan produktif, seperti untuk modal kerja awal, atau untuk bridging financing bagi suatu usaha yang produktif.
Keempat, prinsip pengambilan sewa atas penggunaan barang yang pengadaannya ditalangi oleh bank tanpa diakhiri oleh pemilikan barang tersebut (al-ijarah). Prinsip ini diaplikasikan pada semua jenis pembiayaan penuh, yang merupakan dana untuk pengadaan barang, ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa, tanpa diakhiri dengan pemilikan. Model ini secara konvensional, dikenal sebagai lease dan financing lease.
Kelima, prinsip pengambilan upah (fee) atas penggunaan jasa bank seperti penerbitan jaminan bank (al-kafalah), pemindahan hutang (al-hiwalah), dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam sistem perbankan syari’ah dilarang adanya fixed return (penetapan keuntungan yang pasti di muka) dalam setiap kontrak pembiayaan proyek. Oleh karena itu, bentuk kontrak pada pembiayaan al-mudharabah dan al-musyarakah merupakan sistem yang didasarkan pada peyertaan (equity based system) dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing). Penentuan keuntungan di muka, di satu sisi dapat juga dilakukan, jika itu merupakan kesepakatan berbentuk jual-beli melalui pembiayaan pemilikan barang/aktiva (al-murabahah, al-ijarah, al-bai’ bitsaman ajil).
Kiprah perbankan syari’ah tampak dimaksudkan untuk menerapkan dan mementingkan aspek-aspek moralitas dalam lembaga-lembaga keuangan saat ini. Dalam sistem perbankan syari’ah, terlihat adanya pembatasan kegiatan spekulasi dengan high risk yang tidak produktif, peniadaan unsur al-gharar, serta pelarangan riba dengan peniadaan pembebanan bunga bank.
Aspek moralitas dalam prinsip-prinsip syari’ah, dapat mendorong terciptanya etika usaha, dengan komitmen dan integritas yang tinggi. Pengembangan bank syari’ah dapat memberikan jasa pelayanan yang kompetitif, yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan aliran modal masuk, terutama dari lembaga atau pihak-pihak yang mempersyaratkan pola transaksi dengan prinsip syari’ah. Bank syari’ah, dalam hal ini, telah memberikan kontribusi bagi dunia perbankan di Indonesia, meskipun realitas terkadang menunjukkan kinerja dan dukungan masyarakat terhadap bank syari’ah masih jauh dari potensi yang dapat digali dan dikembangkan.




__________Efrn__________
Pdg, 01, 04082007

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda