DR.Efrinaldi, Pemikiran Politik Islam

Kamis, 16 April 2009

MASJID DAN PEMBINAAN MASYARAKAT ISLAM



MASJID DAN PEMBINAAN MASYARAKAT ISLAM
Oleh: DR. Efrinaldi, M.Ag.



Masjid sangat urgen sebagai sarana & tempat beribadah umat Islam. Masjid merupakan sentral berbagai aktifitas yang dilakukan dalam masyarakat Islam. Bersimpuh dan bersujud kepada-Nya di dalam masjid. Allah berfirman: Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena itu janganlah menyembah selain Allah sesuatupun (QS. Al-Jin (72): 18).
Dalam historisitas Islam, tercatat ketika Nabi Muhammad SAW, pada mula penyiaran Islam di kota Mekkah. Betapa hebat kesulitan yang dialami beliau ketika memulai dakwah di kota Mekkah. Meskipun realitas demikian, Nabi tidak pernah mengeluh, selalu tabah dan tawakal. Staregi dakwah kemudian menuntut untuk melakukan hijrah ke Madinah. Langkah pertama yang dilakukan Nabi adalah membangun Masjid. Masjid Quba’ merupakan masjid pertama kali dibangun kemudian menyusul dengan Masjid Nabawi yang juga didirikan di Madinah. Masjid di kala itu terlihat sebagai pusat pembinaan masyarakat Islam, tempat pendidikan, sarana konsultasi dan komunikasi berbagai masalah sosial, ekonomi dan budaya, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, tempat latihan militer dan persiapan alat-alat angkatan bersenjata.

Hakikat dan Fungsi Masjid
Berkenaan dengan makna, hakikat dan fungsi masjid, Allah berfirman: Wa annal masajida lillah, sesungguhnya masjid-masjid itu pada hakikatnya adalah milik Allah. Masjid pada dasarnya merupakan tempat dan sarana beribadah kepada Allah.
Dalam konteks sufisme, masjid secara etimologis berasal dari kata sajada, yasjudu, sujudan, yang berarti bersujud dan bersimpuh kepada Ilahi. Pernah suatu kali Imam Hasan bin Ali ditanya orang,”Kenapa orang yang selalu beribadah dan hatinya benar-benar terpaut ke masjid wajahnya berseri dan jiwanya tenteram?” Lantas dijawab oleh Imam Hasan bin Ali, ”Karena mereka berdialog (munadjat) dengan Tuhannya”.
Dalam konteks sufisme Islam, seorang Muslim yang benar-benar melaksanakan ibadah dan benar-benar hatinya terpaut ke masjid maka akan ada keterjalinan hubungan vertikal antara makhluk dengan Khaliq-nya, antara hamba dengan Tuhan-nya. Ibadah terlihat sebagai wahana untuk mendekatkan diri pada Tuhan, ber-taqarrub kepada Allah SWT, penguasa jagad raya ini. Oleh karena itu, seorang mukmin yang benar-benar beribadah dan hatinya terpaut ke masjid maka jiwanya tenang dan pikirannya lapang.
Oleh karena itu, seorang Muslim di dalam masjid dalam qaul ulama, seperti laksana ikan di dalam laut. Sebaliknya, orang kafir di dalam masjid ibarat burung di dalam sangkar.
Bahkan, dalam historisitas Islam masjid di kala itu di samping sebagai tempat dan sarana peribadatan, juga sebagai pusat pembinaan masyarakat Islam, tempat pengaturan administrasi pemerintahan, tempat pendidikan (tarbiyatul ummah), sarana konsultasi dan komunikasi berbagai masalah sosial, ekonomi dan budaya, tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, tempat latihan militer dan persiapan alat-alat angkatan bersenjata.

Ta’mirul Masajid
Ta’mirul masajid, menyemarakkan masjid. Masjid adalah tempat dilaksanakannya shalat berjamaah. Dengan adanya perintah shalat berjama’ah berarti suatu kandungan makna akan pentingnya persatuan dan persaudaraan di kalangan umat Islam. Masjid sebagai tempat pembinaan persaudaraan dan persatuan umat Islam. Persaudaraan bukan hanya berdasar hubungan sedarah dan sepersukuan, tetapi persaudaraan yang bernuansa ikatan religius, ukhuwah Islamiyah. Ittihad al-ummah, umat yang bersatu dan umat yang militan yang menebarkan kebenaran dan kemaslahatan bagi umat manusia.
Rasa persamaan juga dipupuk dalam shalat berjama’ah yang diadakan di masjid. Shalat berjama’ah mengandung asas equality before law, persamaan di hadapan hukum. Siapa yang datang ke masjid lebih awal berhak menempati shaf pertama, tanpa memandang jabatan dan posisi seseorang. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi sebenarnya sudah ditanamkan pula di masjid melalui ibadah shalat yang dilakukan secara berjama’ah.
Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. Al-Ankabut/29 : 45). Seorang Muslim yang benar-benar shalat jiwanya tenang dan hati pun senang. Karena orang yang shalat dan hatinya terpaut ke masjid selalu merasa dalam pengawasan Allah. Oleh karena itu, dalam masyarakat perbuatan keji dan munkar akan dapat dicegah, seperti praktek KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Tidak akan ada penipuan, penggelapan, manipulasi yang dapat merugikan masyarakat.
Apabila semua lini masyarakat sudah merasa berada dalam kontrol Ilahi, adanya kesadaran berada dalam pengawasan Allah, maka tentu apa yang dicita-citakan akan tercapai. Masyarakat aman, damai dan sejahtera. Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa dan negeri ini akan dapat dihindari.

Hidayah Allah dan Tautan Hati pada Masjid
Muslim yang baik menghadapi masalah dengan petunjuk Allah. Rajulun mu’allaqun fil masajid, yaitu orang yang terpaut hatinya ke masjid merupakan salah satu golongan yang mendapat perlindungan di saat tiada perlindungan selain perlindungan-Nya.
Memang dalam hidup ini manusia dihadapkan dengan berbagai kesulitan dan masalah. Ada masalah yang dapat diselesaikan sendiri, di samping ada masalah yang bisa didiskusikan dengan orang lain. Ada masalah yang bersifat personal, ada masalah dalam konteks sosial kemasyarakatan, di samping itu ada masalah yang lebih makro dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi, di balik semua itu, ada masalah di luar kekuatan rasio kita sebagai manusia. Di kala itu kita seorang mukmin yang benar-benar terpaut hatinya ke masjid selalu bermunadjat kepada-Nya.
Idza hamma ahadukum bil amr fal-yarka’ raka’atain min ghair al-faridhah (Apabila salah seorang di antara kalian menghadapi masalah yang sangat penting; masalah yang cukup berat, dirundung masalah gawat atau tertimpa musibah, fal’yarka! ruku’lah, adukan sama Tuhan. Mudah-mudahan cobaan yang dihadapi, hati semakin aman dan damai dalam kekuatan Tuhan. Jiwa makin tenang, hati kian lapang. Hidup dilalui selalu bersama-Nya. Dia hadir dalam segenap gerak-gerik kita.
Mohonlah hidayah kepada Allah di saat tertimpa musibah dan dirundung berbagai masalah, karena memohon hidayah Allah itu adalah kebiasaan Nabi SAW. Memohon hidayah Allah bisa dilakukan dengan berdo’a dengan khusyu’ setelah shalat berjamaah yang dilangsungkan di masjid, shalat tahajjud, shalat sunat hajat, istikharah dan sebagainya. Shalat istikharah sebenarnya bukan hanya sebagai sholat sunat untuk memohon keputusan di antara dua alternatif yang diragukan, tetapi shalat istikharah juga merupakan penemuan solusi dari berbagai masalah yang ruwet yang dihadapi.
Mudah-mudahan dengan demikian jiwa kita semakin tenang dan hati kian lapang dalam ikatan kemasjidan. Semoga kehidupan kita selalu diridhai oleh Allah SWT. Waladzikrullahi Akbar!

Label:

Jumat, 10 April 2009

Buat Apa Bergelar Doktor dan Profesor
Kamis, 22 November 2007


Buat apa ada perguruan tinggi (PT)? PT tempat berlangsung pendidikan tinggi. Apa itu pendidikan tinggi? Pendidikan bagi para mahasiswa untuk dilatih berpikir mandiri/akademik/metodologis,baik diploma/strata-1 (bachelor) maupun starata-2 (master) dan strata-3 (philosophy of doctor/Ph.D). Bagaimana belajar/berlatih berpikir mandiri? Bilamana mahasiswa tak lagi mencawan (sepenuhnya hanya menerima dari apa yang
disampaikan dosen walau diktat sudah diulang-ulang entah berapa tahun walau sudah tak beresonansi) di sekolah menengah pun tak boleh mencawan.
Mahasiswa tak hanya mencukupkan dari yang diberikan dosen, tapi berusaha mencari sendiri. Sama ada dari berdiskusi dengan dosen/sesama mahasiswa/senior/pelaku apa saja di tengah masyarakat bahkan dengan siapa saja, dari membaca buku dan hasil
penelitian, dari menghadiri pertemuan ilmiah, dan entah dari mana lagi. Kenapa mahasiswa dilatih berpikir mandiri secara akademik/disiplin ilmu? Mahasiswa akan menjadi sarjana. Bilamana sudah sarjana, ia dipandang sudah memiliki dua pisau: pisau akademik dan pisau metodologis/disiplin ilmu. Pisau akademik memungkinkan sarjana memiliki daya
pikir/pemikiran yang berbentuk/memiliki struktur, sistematik, analitik, dasar/referensi dan kerangka pikir (frame work dan plate form), mampu membangun sudut/sisi/fokus pandang, mampu memandang/mengolah dan menyimpulkan/memberi
pendapat.
Singkatnya, secara umum, seorang sarjana sudah dapat/jadi imam intelektual. Setiap sarjana diasumsikan memiliki daya pikir akademis-apa pun jua disiplin ilmu/jujurusan/fakultas/PT-nya. Pisau metodologis/disiplin ilmu, mendayaguna pikir
yang dijuruskan dan diarahkan serta diaplikasikan secara disiplin ilmu dengan menggunakan metode/cara bahas dan analisis sesuai disiplin ilmu-walaupun cara pikir/cara bahas dan hasilnya keliru. Yang jadi masalah, bilamana mahasiswa tidak berlatih berpikir/membahas/menganalisa kemandirian berpikir. Mahasiswa tak melatih daya pikir, tak membiasakan diri mengembangkan intelektualitas, tak berusaha mencari sendiri-semata mencukupkan apa yang diberikan dosen di muka kelas, tak membiasakan berdiskusi/mendiskusikan, tak biasa membaca buku/hasil penelitian, tak berusaha melatih memproduksi hasil pemikiran, dan seterusnya.
Mahasiswa menjadi demikian karena di PT di mana ia memahasiswa tak ada/tak terbangun lingkungan masyarakat ilmiah, karena para dosen hanyalah guru yang memberikan diktat--tidak mengikuti perkembangan/tidak punya tradisi ilmiah dan atau ketika jadi mahasiswa dahulu pun juga tidak melatih daya pikir akademik/metodologis. Hanya karena
melamar menjadi pegawai negeri sipil saja ia didosenkan. Setelah menjadi PNS dan jadi dosen ia hanya berpikir naik pangkat/dapat jabatan-berorientasi uang/materialistik. LALU, persyaratan dosen harus selesai S-2, baik rekrutmen baru maupun yang sudah terlanjur jadi dosen (harus mengikuti/menyelesaikan S-2/program master)--harus sekolah/disekolahkan lagi. Sebagian mengambil S-3 (program doktor)--sama ada dalam negeri atau luar negeri (keharusan berbahasa Inggeris). Beberapa dosen yang sudah S-3 pula mendapatkan status mahaguru secara kepangkatan (IV-D) dan atau keilmuan ,walau pangkat masih rendah.
Hanya kemudian, beliau yang bergelar akademis Ph.D/profesor itu tetaplah bak dosen seperti sebelumnya. Tidak banyak perkembangan tingkat kemampuan/cara berpikir dan tidak kelihatan peningkatan intelektualitas dan tradisi
ilmiahnya. Tidak terbiasa membaca/mendiskusikan/membahas/menghasilkan pemikiran -- memasyarakatkan hasil pemikiran, tidak ada penelitian -- kalau ada hanya sekedar memenuhi kewajiban (penelitian tidak berguna), dan apa pula akan menulis buku! Berapa banyak mereka yang menyelesaikan S-2 (master) dan berapa banyak pula yang sudah menyelesaikan S-3 (Ph.D) serta berapa banyak pula yang sudah jadi profesor -- katakan saja di berbagai PT
(negeri/swasta) di Sumatera Barat? Apa saja atau adakah kontribusi pemikiran para master/Ph.D/profesor terhadap
pencerdasan berkehidupan di daerah ini? Yang jadi masalah, para master/Ph.D/profesor sudah merasa cukup/selesai
dengan status gelar master/Ph.D/profesornya! Tak ada keharusan/kewajiban dan reward/funishment yang jelas/rigid bagi
master/Ph.D/profesor.
Artinya, walau para master/Ph.D/profesor tidak mengembangkan tradisi ilmiahnya/meningkatkan kemampuan
intelektualitasnya sehingga tidak mampu memberikan kontribusi pemikiran, misalnya!? Bagaimana dengan
tanggungjawab/kifayah ketahuan dan keilmuan -- bagaimana dengan gugatan Bung Hatta (1955/saat ulang tahun
Univeritas Indonesia/UI) tentang tanggungjawab kaum intelegensia!? Kalau pun ada sebagian dari master/Ph.D/profesor
berkiprah/memberikan kontribusi dari ketahuan dan keilmuannya terhadap pencerdasan masyarakat/mencerdaskan
kehidupan bangsa/masyarakat dan menuangkan pemikiran untuk membantu mencerdaskan masyarakat/organisasi
pemerintah dan swasta dalam merumuskan tujuan/sasaran/target dan dalam penyusunan strategi/program serta dalam
proses mencapai tujuan, belum cukup direspon sebagai kebaikan yang pantas/layak dihargai lembaga yang memiliki
otoritas untuk itu. Kita tidak/belum punya tradisi mengapresiasi/menghargai kelebihan dan perbuatan baik yang
berbuga!?
Mana hasil penelitian para master/Ph.D/profesor yang berguna dan layak dipublikasi/dibukukan!? Kalau pun ada -- sebut
saja hasil penelitian Prof. Dr. Musliar Kasim MA (kini rektor Universitas Andalas/Unand), kita /tidak belum punya
kemampuan memadai menghargai. Para master/Ph.D/profesor yang hasil penelitian pun tidak merasa malu. Jadi,
seakan-akan tidak ada beda master/Ph.D/profesor yang jumud/mendengkur dengan yang bergairah/berkeringat dan
memberikan kontribusi/menulis buku, misalnya, selain anfullen!? Ada penilaian terhadap karya ilmiah yang ditulis --
apalagi dibukukan, dan yang ranking atas/terbaik mendapat apresiasi sejumlah uang yang pantas!? Bayangkan, kalau
semua tesis master/Ph.D dan orasi ilmiah profesor dibukukan!! Kalau sebagian besar hasil penelitian para
master/Ph.D/profesor dibukukan dan berguna bagi masyarakat!!
Terakhir, rektor Unand Prof. Musliar Kasim membangun tradisi ilmiah baru: menerbitkan 50 buku karya dosen saat dies
natalis PT itu (2006) pada usia 50 tahun -- alhamdulillah! Bagaimana dengan master/Ph.D/profesor yang masih
terlelap/mendengkur? Bagaimana dengan master/Ph.D/profesor di PT lain yang hanya memproduksi para
master/magister yang tidak cukup berguna selain semata status sudah selesai S-2!? BEGITULAH Cucu Magek Dirih
merasa bangga/salut pada dosen muda Efrinaldi MA, Ph.D, yang sudah menulis lima buku -- buku ke-5 tentang Fiqh
Siasah: Dasar-dasar Pemikiran Islam. Buku terbaru Efrinaldi itu dibedah pada hari pertama pembukaan Padang Book
Fair 2007, Sabtu (10/11), di Gedung Bagindo Azis Chan dengan pembahas Prof. Dr. H. Yashwirman MA -- Cucu Magek
Dirih diminta jadi moderator. Kami bertiga (Efrinadi/Yaswirman/Cucu) seperinduan/sama-sama keluarga Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang -- hanya Cucu tersesat jadi saudagar media.
Alhamdulillah, pengunjung yang mengikuti bedah buku cukup tinggi. Bedah buku pun jadi menarik karena
kegenialan/kepiawaian Prof Yaswirman bermantiq-ria tentang salah kaprah dalam menerapkan ilmu-ilmu dasar Islam. Ia
mencontohkan gagasan penetapan satu Syawal melalui voting, yang membuat sebagian hadirin menggelinjang karena
tergelitik. Yashwirman merasa senang karena selama ini Syariah dan ilmu fiqh dikrangkeng sebatas hukum Islam.
Syariah tidak sebatas hukum, tapi, berbagai aspek kehidupan. Ada sedikit perbedaan tesis Efrinaldi dengan seniornya
(Yaswirman), bahwa pilihan bernegara tidak mesti melalui jalan politik praktis/partai politik seperti cenderung diajukan
Efrinaldi. Yaswirman belum percaya kader/petinggi partai politik berlabel Islam tak akan
memperkosa/memperalat/menjadikan hanya kendaraan politik. Lagi pula, partai politik terbukti mereduksi/mengerdilkan
Islam. Membuat kaum muslimin terpecah.
”Islam yang benar” adalah yang diklaim partai politik Islam yang menang -- kasihan Islam partai politik
Islam yang kalah. Ia juga ”meledek”, (selama ini) buku-buku pemikiran Islam tidak bestseller. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unand menawarkan Efrinaldi misbar/Universiti Sains Malaysia mencari pakar pemkiran
Islam dengan salary menggiurkan. Master/Ph.D/profesor yang menulis buku memiliki posisi tawar yang menjanjikan.
Nah, buat apa meraih/bergelar S-2/S-3 (master/Ph.D) dan ditahbiskan jadi profesor kalau hanya mencukupkan memberi
kuliah dua jam/pekan, lalu berburu jam kuliah di PT lain/berburu proyek penelitian instansi pemerintahan untuk semata
berharap tambahan penghasilan dengan membuat analisis/telaah sesuai keinginan pemesan. Bagaimana dengan
master/Ph.D/profesor yang tidak ada karya ilmiah/tidak menulis artikel -- apalagi akan menulis/menerbitkan buku!?
Bagaimana kalau master/Ph.D/profesor hanya sebatas guru/memberi kuliah -- tidak sama sekali hendak memberi
konsribusi/menunai tanggungjawab intelektualitas sebagai kaum terdidik seperti dikatakan Bung Hatta mengutip Harry J.
Benda!? Buat apa meraih master/Ph.D/profesor jiaka tidak mencerdaskan masyarakat dalam berkehidupan, dalam
membantu merumuskan cita-cita/tujuan/sasaran target, dan menentukan pilihan tindakan/cara bekerja (proses)
mencapai tujuan/sasaran/target!? Apa nanti -- sebagaimana hanya dengan sebagian besar guru yang tidak lulus
sertifiksi guru -- para master/Ph.D/profesor nanti juga tidak akan lulus dalam sertifikasi dosen, dan tidak dapat menikmati
tunjangan fungsional -- atau dicabut saja semua label akademis yang disandang!?** Oleh :H. Sutan Zaili AsrilDikutip dari
: Harian padang Ekspres
:: Jurusan Teknik Mesin
http://me.polinpdg.ac.id Powered by Joomla! Generated: 20 March, 2009, 21:14
:

MANIFESTASI KESABARA

MANIFESTASI KESABARAN
Oleh: Efrinaldi, M.Ag.


Sabar adalah akhlak terpuji dan termasuk salah satu tiang iman. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkan kesabaranmu serta tetaplah bersiapsiaga (mempertahankan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.” (QS. Ali Imran/3: 200).
Secara etimologis, sabar berasal dari kata shabara, yashbiru, shabran, yang berarti tabah hati; berani atas sesuatu. Dalam pengertian umum, sabar bukanlah berarti menyerah begitu saja kepada keadaan, tetapi suatu sikap hati yang teguh, tidak mengeluh karena musibah atau bencana yang menimpa.
Sabar pada hakikatnya merupakan suatu sikap moralitas yang terpuji dan menjadi benteng terhadap perbuatan yang tercela. Sabar menjadi tolok ukur yang tepat untuk membuktikan seseorang berjiwa besar. Bahkan, kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat terkait erat dengan sikap sabar dan taqwa. Firman Allah: Sesungguhnya siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf/12: 90).
Sabar bukan menerima saja apa yang ada tanpa melakukan ikhtiar, tetapi berupaya terus untuk mencari jalan keluar, sampai berhasilnya suatu cita-cita dengan ketetapan hati yang teguh. Sabar dalam suatu perjuangan adalah orang yang berani. Sabar dalam menyimpan rahasia adalah orang yang dapat dipercaya. Sedangkan sabar terhadap sesuatu yang tidak disukai adalah ridha. Seorang muslim hendaknya selalu sabar terhadap apa saja yang datang dari Allah SWT dan yakin ada hikmah di balik setiap cobaan dan bencana yang menimpa.
Secara esensial, kesabaran itu diterapkan dalam tiga hal. Pertama, sabar ketika musibah menerpa. Musibah, bencana atau cobaan yang ditimpakan Allah kepada hamba-Nya, seperti gempa bumi, kemarau yang panjang, dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan sarana untuk menguji keimanan manusia. Allah berfirman: “Kami pasti akan menguji kamu dengan sesuatu ujian, baik berupa ketakutan, kelaparan, menyusutnya harta benda dan nyawa, maupun berkurangnya hasil buah-buahan. Sampaikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah/2: 155).
Orang yang sabar ketika musibah menimpa dirinya selalu bersikap teguh hati dan semakin ingat kepada keagungan Tuhannya. Karena, dalam keyakinannya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Inilah hakikat ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dalam kalbu seorang Muslim. Atas dasar ini, orang yang sabar tidak mudah berputus asa dari rahmat Allah.
Kedua, sabar dalam melaksanakan ibadah. Kesabaran dalam beribadah terwujud dalam sikap mampu mengendalikan diri, tidak tergesa-gesa, khusyu’ dan mematuhi rukun dan syarat yang terkait dengan ibadah tersebut. Lebih-lebih lagi, pada hakikatnya ibadah itu merupakan suatu sarana bagi terjalinnya hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Ketiga, sabar dari mengerjakan maksiat. Kesabaran bila berhadapan dengan maksiat tercermin dari sikap mengekang dan menghindarkan diri dari perbuatan maksiat tersebut. Sabar terhadap keinginan berbuat maksiat adalah menjaga kesucian diri (iffah). Kecenderungan dan daya tarik berbuat maksiat itu biasanya jauh lebih kuat daripada motivasi untuk berbuat kebaikan. Kesabaran termanifestasi dalam upaya mengendalikan diri agar jangan sampai terjerumus ke lembah maksiat itu. Wallahu A’lam bi al-Shawab.











Jalan menuju Allah adalah jalan yang berat, perjalanan kepada Allah itu panjang. Tidak ada yang mampu mengarungi perjalanan itu kecuali orang yang bersabar ketika bencana menerpa, bersabar dalam melaksanakan ibadah, serta bersabar dalam mengendalikan diri terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.


“Patience is the base of happiness” (Kesabaran adalah pokok kebahagiaan).

Label:

MANIFESTASI KESABARAN

MANIFESTASI KESABARAN
Oleh: DR. Efrinaldi, M.Ag.


SABAR adalah akhlak terpuji dan termasuk salah satu tiang iman. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkan kesabaranmu serta tetaplah bersiapsiaga (mempertahankan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.” (QS. Ali Imran/3: 200).
Peribahasa Inggeris bertutur, “Patience is the base of happiness” (Kesabaran adalah pokok kebahagiaan). Sabar merupakan suatu sikap jiwa yang positif dan kunci sukses dalam menghadapi berbagai kendala, problematika hidup, dan berbagai musibah yang menerpa. Dalam kesabaran terpancar sikap jiwa yang optimis, bukan malah pesimis dan apatis, tetapi penuh dinamika dan bersahaja.

HAKIKAT SABAR
Secara etimologis, sabar berasal dari kata shabara, yashbiru, shabran, yang berarti tabah hati; berani atas sesuatu. Dalam asumsi dan makna umum, sabar bukanlah berarti menyerah begitu saja kepada keadaan, tetapi sabar adalah suatu sikap hati yang tabah dan teguh, tidak gampang mengeluh karena musibah yang menimpa atau bencana yang menerpa.
Sabar pada hakikatnya merupakan suatu sikap moralitas yang terpuji dan menjadi benteng terhadap perbuatan yang maksiat dan tercela, serta sebagai solusi dinamis dalam perilaku menghadapi berbagai kendala dan problema. Sabar menjadi tolok ukur yang tepat untuk membuktikan seseorang berjiwa besar. Bahkan, kesuksesan dan keberuntungan di dunia dan akhirat terkait erat dengan sikap sabar dan taqwa. Firman Allah: Sesungguhnya siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf/12: 90).
Sabar bukan menerima saja apa yang ada tanpa melakukan ikhtiar, tetapi berupaya terus untuk mencari jalan keluar, sampai berhasilnya suatu cita-cita mulia dengan penuh ketabahan dan ketetapan hati yang teguh. Sabar dalam suatu perjuangan adalah orang yang berani menghadapi dan menempuh resiko dengan perhitungan yang tepat. Sabar dalam memegang amanah dan menyimpan rahasia adalah orang yang dapat dipercaya dan mempunyai kredibilitas yang tinggi. Sedangkan sabar terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang tidak disukai adalah ridha. Seorang muslim hendaknya selalu bersikap sabar terhadap apa saja yang datang dari Allah SWT dan yakin ada hikmah di balik setiap peristiwa dan bencana yang menimpa.

APLIKASI SIKAP SABAR
Jalan menuju hidayah Allah adalah jalan yang berat. Perjalanan menggapai keridhaan Ilahi itu panjang dan penuh cobaan. Tidak ada yang mampu mengarungi perjalanan itu kecuali orang yang bersabar ketika bencana menerpa, bersabar dalam melaksanakan ketaatan, serta bersabar dalam mengendalikan diri dari terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.
Secara esensial, kesabaran itu diterapkan dalam tiga hal. Pertama, sabar ketika musibah menerpa (ash-shabr ‘alal mushibah). Musibah, bencana atau cobaan yang ditimpakan Allah kepada hamba-Nya, seperti gempa bumi, kemarau yang panjang, gunung meletus, tanah longsor, dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan sarana untuk menguji keimanan manusia. Allah berfirman: “Kami pasti akan menguji kamu dengan sesuatu ujian, baik berupa ketakutan, kelaparan, menyusutnya harta benda dan nyawa, maupun berkurangnya hasil buah-buahan. Sampaikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah/2: 155).
Orang yang sabar ketika musibah menimpa dirinya selalu bersikap teguh hati dan semakin ingat kepada keagungan dan kebesaran Tuhannya. Karena, dalam keyakinannya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Inilah hakikat ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dalam kalbu seorang Muslim. Atas dasar ini, orang yang sabar tidak mudah berputus asa dalam mengharap rahmat dan ‘inayah Allah.
Kedua, sabar dalam melaksanakan ketaatan dalam beribadah (ash-shabr bith-tha’ah). Kesabaran dalam beribadah terwujud dalam sikap penuh taat, mampu mengendalikan diri dan tidak tergesa-gesa, khusyu’ dan mematuhi rukun dan syarat yang terkait dengan ibadah tersebut. Karena, pada hakikatnya ibadah merupakan suatu sarana bagi terjalinnya hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Ketiga, sabar dari mengerjakan perbuatan maksiat (ash-shabr ‘anil ma’shiyah). Kesabaran bila berhadapan dengan perbuatan maksiat tercermin dari sikap mengendalikan dan menghindarkan diri dari perbuatan maksiat tersebut dengan penuh hati-hati dan waspada. Sabar terhadap keinginan berbuat maksiat adalah menjaga kesucian diri (iffah). Kecenderungan dan daya tarik berbuat maksiat itu biasanya jauh lebih kuat daripada motivasi untuk berbuat kebaikan. Kesabaran dalam konteks ini termanifestasi dalam upaya mengendalikan diri agar jangan sampai terjerumus ke lembah nista dan maksiat itu.

Label:

OPTIMIS SIKAP HIDUP MUSLIM

OPTIMIS SIKAP HIDUP MUSLIM
Oleh : Drs. EFRINALDI, M.Ag.

KETIKA Nabi Yunus AS diutus Allah SWT mengembangkan agama ke kota Ninewa, di pantai Barat bagian Utara benua Afrika, dalam historisitas Islam tercatat hanya 2 orang yang mau beriman setelah berusaha selama 33 tahun. Kedua orang pengikut Nabi Yunus AS itu bernama Rubil dan Tanukh, padahal penduduk kota Ninewa pada waktu itu tidak kurang dari 200.000 orang.[i] Melihat realitas ini lantas Nabi Yunus AS kecewa sekali. Di saat rasa kecewa itu memuncak tinggi ia lalu melarikan diri. Tuhan tidak menyukai sikap putus asa, sehingga Nabi Yunus AS akhirnya mendapat “hukuman” yang membuatnya sadar. Sewaktu ia kembali lagi ke kota Ninewa ternyata situasi telah berubah. Penduduk yang pada mulanya engkar telah bersikap patuh dan taat, sehingga setiap ajakan dakwah Nabi Yunus AS diterima dengan terbuka dan senang hati.
Umat Islam dilarang berputus asa. Dalam hidup hendaklah optimis dalam berbagai aktifitas yang dilakukan. Firman Allah SWT: “Janganlah kamu berputus asa dalam mengharap rahmat Allah, sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan orang-orang kafir.” (QS. Yusuf /12: 87)
Sebagai orang yang beriman tidak mudah berputus asa, tidak gampang menyerah dan harus tahan banting, tabah dan tawakal. Di balik malam yang gelap pasti ada fajar menyingsing. Di balik pendakian mesti ada penurunan, makin panjang pendakian makin panjang pula penurunannya. Malam tetap berganti siang, hujan tetap bersilih panas.
Hidup dan kehidupan ini memang penuh dinamika. Laksana gelombang air laut, kadang-kadang datang ombak yang menghempas, gelombang yang dahsyat yang memporak-porandakan kapal yang sedang berlayar. Tatkala datang pasang surut air laut menjadi tenang. Di saat itu hanya ada alunan yang bergulung-gulung yang menambah indahnya pemandangan, sewaktu duduk di tepi pantai melihat ke laut lepas di kala senja ketika mentari turun di ufuk barat.
Firman Allah SWT:Maka sesungguhnya di samping kesulitan itu pasti ada kemudahan. Sesungguhnya di samping kesulitan pasti ada kemudahan. (QS.Al-Insyirah/94 : 5-6)
Orang Inggeris mengatakan,”How beautiful is victory,but how expensive.” (Alangkah indahnya kemenangan, tapi mahalnya bukan main). “There are no gains without pains.” (Tak ada yang dicapai, tanpa susah-payah). Misalnya, bak kata pepatah orang tua tempo doeloe, ”Jikalau menginginkan manisnya buah durian, harus berani terkena durinya. Ingin madunya lebah, mesti berani disengat lebah.”
Ada pula yang mengibaratkan hidup ini laksana roda pedati, sekali ke atas sekali ke bawah. Ketika di atas orang tertawa berderai, tetapi ketika di bawah badan terhimpit menangis dan menjerit bersedih hati, berpilu sendu bermandi waduk duka. Ibarat alunan musik yang iramanya turun-naik. Kalau irama musik itu datar saja, tentu tak enak didengar telinga. Begitu juga kalau hidup ini monoton saja juga tidak enak dan tidak ada keindahannya.

Hadapi Masalah dengan Petunjuk Allah
Memang dalam hidup ini manusia dihadapkan dengan berbagai kesulitan dan masalah. Ada masalah yang dapat diselesaikan sendiri, di samping ada masalah yang bisa didiskusikan dengan orang lain. Ada masalah yang bersifat personal, ada masalah dalam konteks sosial kemasyarakatan, di samping itu ada masalah yang lebih makro dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila menghadapi kesulitan janganlah mengira bahwa seluruh medan kehidupan hanya bertabur kesulitan dan masalah. Kesulitan itu sesungguhnya sangat berguna dan membuat nilai sesuatu bertambah tinggi. Emas menjadi mahal harganya bukan karena kuning warnanya tetapi karena sulit memperolehnya. Seandainya emas itu dapat dipungut seperti memungut puntung rokok, tentu emas tidak akan mempunyai harga sama sekali. Memang, indahnya hidup ini, karena memang ada tantangan dan kesulitan.
Begitulah hidup, begitulah dinamika di dunia. Andaikata tak ada iman, kesabaran dan keyakinan teguh kepada Allah SWT, akan mudah berputus asa. Dalam hidup ini orang yang beriman selalu optimis dan tidak akan berputus asa. Di balik pendakian mesti ada penurunan. Bukankah Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Dengan hidup yang penuh masalah ini, timbul berbagai aktifitas, lahir dinamika dan mobilitas. Hadapi masalah dengan petunjuk Allah. Memohon hidayah Allah di saat tertimpa musibah dan dirundung berbagai masalah, karena memohon hidayah Allah itu adalah kebiasaan Nabi SAW, sudah seyogianya menjadi bagian integral dalam kehidupan kita. Dengan demikian, dalam kesulitan dan cobaan yang dihadapi, hendaklah optimis dan tidak pesimis. Hidup kita akan aman dan damai dalam kekuatan Tuhan. Hidup kita selalu bersama-Nya, gerak-gerik kita selalu di dekat-Nya, sehingga jiwa kita tenang dan hati kita lapang. Apa yang dicita-citakan tercapai, yang diidam-idamkan tergapai. Rezeki kita dilapangkan oleh Allah, semoga kehidupan kita dimudahkan oleh Allah SWT. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Waladzikrullahi Akbar!
Ciputat, Thursday, 06222004.


[i]Abbas Hassan, Kenapa Nabi Muhammad Sangat Sehat, (Jakarta: Erna-Erni,1998), h.44.

Label:

MINANGKABAU 2020


MINANGKABAU 2020


(Sebuah Refleksi Futuristik)

Dalam “The Global Paradox”, John Naisbitt menangkap gejala bahwa di tengah proses globalisasi yang melanda dunia sekarang tumbuh kekuatan-kekuatan etnisitas dalam masyarakat bangsa. Semangat etnis Perancis Quebec tumbuh kuat di Kanada, kebangkitan suku etnis di ex-Uni Soviet, munculnya suku Croatia, Serbia, dan Bosnia di ex-Yugoslavia dan seterusnya. Seiring dengan gerak laju proses globalisasi, semakin gencar pula tumbuh kekuatan etnis yang ingin memelihara identitasnya di tengah proses uniformitas budaya global.
Kekuatan etnisitas yang muncul merupakan sesuatu yang lumrah. Sudah merupakan keharusan semangat zaman globalisasi untuk mengakomodasi etnisitas dalam rangka persatuan bangsa di tengah gerak laju proses globalisasi tersebut. Pengembangan etnisitas kedaerahan dipertautkan dengan nasionalisme bangsa.
Dalam hubungan ini masyarakat Minangkabau terlihat memiliki kekuatan etnisitas yang homogen. Watak etnisitas Minang bersifat inklusif, menerima secara terbuka unsur-unsur luar, dengan solidaritas berlapis-lapis. Fleksibelitas dalam perwatakan etnis Minang terimplementasi dalam sikap “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung”.
Perwatakan Minang sekilas terlihat sebagai prilaku oportunistik. Secara substantif, watak tersebut mencerminkan realisme bahwa manusia hidup dalam berbagai lingkaran kehidupan, seperti kehidupan pribadi, keluarga, suku, kampung, dan seterusnya. Seabagai masyarakat yang berbudaya merantau, dalam pola migrasi etnis ini, penegakan solidaritas menjadi unsur penting bagi kelanjutan hidup. Solidaritas global yang tercipta menjadi fondasi masyarakat Minang, terutama para perantau, dalam membantu sanak-keluarga di kampung halaman. Dengan demikian, prediksi John Naisbitt mengindikasikan bahwa secara positif saluran semangat etnisitas memang tumbuh semakin kuat mencuat dalam suasana ketunggalan bangsa dan globalisasi dunia di masa mendatang.

Adat dan Budaya Minangkabau
Dalam proses perubahan nilai dan struktur masyarakat di masa mendatang era 2020-an, perubahan itu akan semakin beralih ke arah terbentuknya suatu masyarakat dan tata-nilai yang baru. Masyarakat dan nilai-nilai subkultur Minangkabau pada satu pihak bisa merupakan subjek dari perubahan-perubahan itu, tapi pada pihak lain tidak terelakkan juga akan atau telah menjadi objek perubahan-perubahan.
Dalam menempati posisi sebagai objek perubahan-perubahan di masa depan, masyarakat Minangkabau harus mampu mempertahankan nilai-nilai budayanya yang esensial tanpa mengucilkan diri. Nilai tidak selalu terletak pada struktur dan sistem, tetapi juga dalam semangat dan pendekatan-pendekatan. Perubahan sistem bisa terjadi tapi jangan perubahan itu memupus nilai-nilai yang esensial.
Sebaliknya, dalam menempati posisi sebagai subjek perubahan, masyarakat Minangkabau harus mampu menempatkan dan memberi makna secara lebih luas dan langgeng nilai-nilai adat dan budayanya, sehingga akhirnya nilai-nilai tersebut akan tetap relevan dalam mengahadapi tantangan masyarakat budayanya sendiri dan masyarakat budaya lain. Nilai-nilai tersebut tidak secara otomatis muncul dan dapat disumbangkan hanya melalui sesuatu yang verbalis, tetapi mesti melalui pendeskripsian dan analisis yang mendalam melalui kaitan kajian kemasyarakatan.
Masyarakat Minang memang merupakan masyarakat yang tribal, bersuku-suku, demokratis, fraternalistis, dan desentralistis. Kekuasaan di Minangkabau terdapat di nagari-nagari (republik-republik kecil di desa). Kekuasaan dibagi secara fungsional: ninik-mamak mengurus adat, alim-ulama mengurus agama, cerdik-pandai mengurus masalah keduniawian, dan manti/dubalang menguus keamanan nagari.
Bagi masyarakat Minang, alam terkembang dijadikan guru. Ini memperlihatkan bahwa semua unsur alam memiliki peranan masing-masing dan saling berhubungan. Keselarasan dalam masyarakat tidak terdapat dalam tingkatan-tingkatan, tetapi pada hubungan dalam eksistensi masing-masing. Perbedaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosialnya akan tetapi oleh fungsinya. Saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tetapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok tetapi tidak saling meleburkan.
Keselarasan dalam tatanan adat dan budaya Minangkabau tidaklah suatu jagad yang hirarkis, tetapi adalah sebuah mozaik. Setiap unsur jagad berdiri dengan perannya yang berlainan hadir dalam suatu harmoni. Dalam abad milenium ini, masyarakat Minang yang konsisten dengan adat dan budayanya yang orisinil akan tetap survive dengan peran dan fungsinya yang selaras.
Orang Minangkabau menyebut masyarakatnya dengan Alam Minangkabau dan menyebut kebudayaannya dengan Adat Minangkabau. Penyebutan yang demikian menunjukkan bahwa orang Minangkabau melihat diri dan masyarakat sebagai bagian dari alam, maka hukum-hukum alam yang ada juga berlaku bagi masyarakat Minangkabau. Dasar filsafat mereka menunjukkan: alam terkembang jadi guru.
Menurut sifat dasarnya memang adat Minangkabau terdiri dari dua jenis. Pertama, adat yang berbuhul mati. Adat ini tidak akan berubah, tidak mungkin dungkai. Pepatah Minangkabau mengatakan bahwa adat “tak lekang dek (oleh) panas dan tak lapuk dek hujan.” Adat yang berbuhul mati ini terbagi atas adat yang sebenarnya adat, yaitu seluruh hukum dan sifat alam; dan adat yang diadatkan , yaitu seluruh ajaran dari pendiri dan permus adat Minangkabau, yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Kedua, adat yang berbuhul sentak. Adat ini merupakan penjabaran dari adat yang berbuhul mati. Rumusan dari penjabaran itu dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah menghasilkan norma-norma, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga.
Kemudian dalam menyusun ajaran tersebut kedua Datuk berpegang kepada adat nan sebenarnya adat, kepada sifat dan hukum-hukum alam. Proses itulah yang disebut alam terkembang jadi guru.
Pada dasarnya filosofi “alam terkembang jadi guru” ini merupakan cerminan bahwa orang Minangkabau tidak akan pernah kehilangan tongkat. Tongkat itu bisa jadi ilmu, sedang ilmu muaranya adalah kebenaran. Alam merupakan seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pengalaman dan kondisi ketika dihirupnya alam itu. Jadi, kultur Minangkabau tidak akan mati, jika orang Minang masih berguru kepada alam.
Seandainya orang Minang lari dari budayanya, namun ia sangat mudah untuk kembali, meskipun ia telah mengambil atau melahirkan kultur baru yang tidak sesuai dengan kulturnya. Dalam realitas, orang Minang ternyata tidak pernah lari dari kulturnya. Dengan kata kunci, “kembali berguru ke alam”, perubahan itu dapat dilakukan dengan putaran maksimal, spontan atau revolusi.
Pada prinsipnya, adat Minangkabau bersifat terbuka dalam menghadapi perubahan-perubahan. Dari dimensi adat yang berbuhul mati, yang secara holistik merupakan adat yang tak bisa diubah, yang bersumber dari sifat dan hukum alam. Sementara sifat dan hukum alam itu sendiri adalah kefanaannya dan keterbukaannya terhadap perubahan-perubahan. Adat yang berbuhl sentak, adat yang bisa diubah, sebagai penjabaran dari adat yang bisa diubah berdasarkan masyawarah.
Sendi adat yang demikian menyebabkan masyarakat Minangkabau menjadi sangat terbuka. Kritik korektif dan konstruktif terhadap pelaksanaan adat Minangkabau yang tidak benar justru datang oarang-orang Minangkabau sendiri. Daya perubahan ke arah pembaruan suatu kebudayaan, seperti dikatakan Sudjatmoko (1983) berakar kepada vitalitas kebudayaan itu sendiri. Modernitas di dalam adat atau kebudayaan Minangkabau di masa depan, tidak hanya lahir oleh sesuatu yang berasal dari luar, tetapi juga ditentukan oleh apa yang ada di dalam adat atau tradisi Minangkabau. Tradisi harus tetap baru, dan kebenaran adalah bagian dari tradisi itu sendiri.
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang sangat cepat di masa datang, peralihan masyarakat dan kebudayaan yang agraris ke masyarakat dan kebudayaan industri dan informasi memang mengharuskan terjadinya proses aktualisasi ajaran-ajaran adat Minangkabau dan diciptakannya atau diaksentuasikan idom-idiom baru dari ajaran-ajaran adat tersebut. Suatu proses perubahan masyarakat dan kebudayaan sedang dan akan terjadi di dalam masyarakat dan kebudayaan Minangkabau. Proses perubahan itu bersifat substansial. Dalam menghadapi proses perubahan itu tidak bersikap lari ke masa silam, tapi bersikap jernih dan realistis.
Memang, pada hakekatnya adat Minangkabau selama ini adalah produk dari “alam Minangkabau” yang agraris. Masyarakat dan kebudayaan modern menunjukkan perkembangan ke arah masyarakat industri dan masyarakat informasi menuju suatu proses globalisasi. Segmen masyarakat tersebut bernuansa sesuai dengan karakteristiknya.
Kemiskinan dan kesenjangan sosial akan merupakan tantangan utama dalam perkembangan masyarakat mendatang, sesuatu yang di dalam masyarakat agraris Minangkabau tidak begitu menjadi persoalan. Di dalam masyarakat Minangkabau yang agraris, masalah itu bisa diselesaikan dan menjadi tanggung jawab rumah-tangga. Di dalam Minangkabau agraris tanah akan menjadi modal utama. Di dalam masyarakat industri yang menjadi persoalan bukan lagi tanah tapi adalah modal itu sendiri, sedang dalam masyarakat informasi yang diperlukan adalah keahlian. Persoalan-persoalan itu tidak hanya bisa ditanggulangi dan menjadi tanggung jawab rumah tangga. Permaslahan harus dipecahkan secara global.
Masalah modal, keahlian, dan penguasaan tekonologi merupakan permasalahan pendidikan yang akan menentukan di dalam perkembangan masyarakat dan kebudayaan saat ini dan di masa-masa mendatang. Kualitas manusia menjadi amat menentukan dalam menghadapi dan merebut masa depan yang lebih baik.

Nilai-nilai Religiusitas dan Tatanan Adat Minangkabau
Dalam beberapa dasawarsa mendepan, dinamisasi syara’ (nilai-nilai religiusitas) dalam adat Minangkabau akan tetap sangat berpengaruh. Kenyataan ini terlihat dalam falsafah ajaran “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.” Permasalahan-permaslahan yang dihadapi sebagai konsekwensi logis dari dinamika perubahan sosial yang makin cepat, secara operasional masyarakat Minang akan bertumpu pada filosofi tersebut. Ajaran itu jangan hanya sekedar slogan, tetapi sudah seyogianya menjadi dinamisator dan motivator dalam dinamisasi masyarakat di masa-masa mendatang. Kualitas manusia dengan SDM yang handal merupakan keyword untuk menyongsong masa depan. Idiom-idiom baru dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran adat Minangkabau tetap sangat signifikan.
Falsafah hidup masyarakat Minangkabau tetap “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.” Orang Minangkabau merasa bahwa falsafah hidup itu merupakan warisan budaya yang amat berharga dan mesti dipelihara. Dengan falsafah hidup itu, masyarakat Minang juga merasa bahwa mereka “lain” dari masyarakat mana pun.
Falsafah itu sekaligus sebagai pembentuk identitas dan menjadi rujukan dari setiap tingkah laku masyarakat Minangkabau. Setiap aktifitas, prakarsa, dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan falsafah adat tersebut. Namun, sudah seyogianya falsafah itu tidak terbatas hany berfungsi sebagai filter atau sebagai rambu-rambu saja, tetapi lebih jauh juga harus mampu berperan sebagai sumber kreatifitas, sumber elan-vital, dan motivator dari proses dinamisasi masyarakat.
Kalau peran itu yang dikedepankan, maka orientasi adat tidak lagi hanya ke masa lalu, tetapi jauh ke masa depan. Dengan peran itu akan mampu menjelaskan dan menjawab fenomena-fenomena kebudayaan dan tantangan-tantangan masa depan sebagai implikasi dan konsekuensi dari perubahan dan perkembangan kebudayaan itu. Dengan demikian ajaran adat akan tetap aktual, tidak akan menjadi usang.
Dinamika dan fleksibelitas perkembangan Islam ditandai dengan pola “bi al-hikmah wa al-mau’idhah al-hasanah.” Ini menimbulkan daya tarik tesendiri bagi para fungsionaris adat. Basis-basis Islam makin kuat di Minangkabau. Faktor utama penyebabnya karena “pada hakekat ajaran-ajaran yang dianut oleh agama Islam tidaklah merupakan ajaran yang bertentangan dengan adat Minangkabau, yang berdasarkan kepada budi pekerti yang baik…” (Harian Pelita, 9 Maret 1982).
Tatanan adat Minangkabau banyak diwarnai oleh syari’at Islam. Mochtar Naim (1968) mengatakan,”…sehingga kalau kita menyelidiki adat-istiadat Minangkabau, atau kebudayaan Minangkabau, kita akan melihat betapa usaha-usaha orang Minangkabau agar agamanya mempengaruhi adatnya.
Perpaduan pola agama dan ketentuan adat itu mengejawantah menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat dalam melahirkan karya, cipta, dan karsa. Tegasnya, adat dan agama telah menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau. Karena inilah Minangkabau terkenal dengan agamanya yang kuat dan adatnya yang kokoh.
Selama ini orang Minangkabau hidup harmonis di bawah payung kebesaran Minangkabau yang terpatri lewat adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas. Hendaknya, pondasi keyakinan adat dan agama orang Minangkabau, yang kalau diibaratkan seperti “baja” yang tak akan lapuk oleh hujan dan tak akan lekang disinari panas, tidak berkarat hanya diterpa panas-dinginnya suhu kehidupan budaya, ekonomi, sosial-politik, dan pertahanan-keamanan.
Sesuai dengan stelsel matrilineal yang dipangku oleh masyarakat Minangkabau, birokrasi kehidupan sebenarnya dikendalikam oleh ketiga fungsional adat, tigo tali sapilin, tigo tungku sajarangan tersebut di atas: ninik-mamak, alim-ulama, dan cerdik-pandai, serta urusan “kaum pemilik rumah gadang” dikomandoi oleh bundo kanduang.
Ketiga komponen itu bahu-membahu menentukan gerak maju kehidupan masyarakat di masa depan dalam pelaksanaan pembangunan maupun menentukan langkah-langkah perencanaan pembangunan dalam arti yang luas. Sistem dan struktur masyarakat Minangkabau secara fungsional memerlukan persyaratan kualitatif dari unsur kerangka tiga tali sepilin tiga tungku sejarangan, hukum adat, kaidah agama, dan peraturan menjadi satu-kesatuan pilihan hukum masyarakat Minangkabau.
Dari sudut behavioral lembaga adat tersebut sudah lama tidak berfungsi menurut semestinya. Eksistensi fungsionaris adat yang legitimate, secara sadar telah bergeser oleh faktor-faktor internal maupun faktor-faktor eksternal. Wajah Minangkabau yang seyogianya terimplementasi dari gaya hidup dan problematika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Minangkabau itu sendiri. Berbagai peristiwa “sensasional” membawa masyarakat Minangkabau ke penjelejahan identitas atau jati diri baru di atas jati diri lama yang boleh disebut sudah “tercabik-cabik”.
Unsur raso jo pareso, raso yang berpangkal dari hati nurani terjelma melalui budi pekerti, dan pareso yang dilandasi oleh pikiran dan pertimbangan-pertimbangan yang menjadi prinsip dasar tindak kerja (perbuatan) masyarakat Minangkabau kini terkadang terinfiltrasi oleh berbagai kepentingan yang subjektif.
Oleh karena itu, jika Islam mempengaruhi tatanan adat secara mendasar, maka keyakinan akan adanya kekuatan transendental tetap menimbulkan darah baru (new blood) dalam denyut-nafas dinamika tatanan adat. Falsafah adat yang banyak didasarkan pada pikiran dan rasa menjadi sempurna diwarnai oleh keyakinan agama.
Syara’ memberi warna baru bagi falsafah adat. Hal ini dapat dianlisis dalam pepatah: “iduik baraka, mati beriman” (hidup berakal, mati beriman). Pepatah adat yang sebelumnya hanya mengungkap, di waktu mati manusia meninggalkan nama baik, disempurnakan oleh syara’ dengan pentingnya amal saleh selama hidup di dunia untuk kehidupan akhirat, ke masa depan yang lebih jauh di balik kehidupan dunia ini.
Atas dasar ini, masyarakat akan berusaha mengidentifikasi tingkah laku dan kebiasaan yang telah membudaya kepada sendi-sendi syara’. Dasar-dasar adat tetap hidup dan dipelihara dengan diberi warna oleh nilai-nilai religiusitas Islam.
Kultur, Alam, dan SDM Minangkabau Mendatang
Pusat-pusat kebudayaan Minangkabau di masa depan akan mengalami perubahan. Pusat kebudayaan yang dalam sejarah bisa didapati di rumah-rumah gadang dan sasaran-sasaran (gelanggang atau medan) yang menjadi milik kaum, surau dan madrasah, di masa depan nuansa akademis akan menonjol dalam pusat studi budaya Minangkabau di lembaga-lembaga yang independen, selain di Pemerintahan Daerah, beberapa universitas, dan lembaga-lembaga lain. Untuk mendapatkan ilmu dan beroleh kemajuan, berkembang pula suatu tradisi merantau gaya baru. Orang pergi bermigrasi meninggalkan kampung halamannya—sebagaimana yang sudah menjadi tradisi—untuk studi dan makin gencar menuntut ilmu. Pusat-pusat kebudayaan tidak lagi hanya berada di Minangkabau saja.
SDM orang-orang Minang yang beroleh pendidikan di pusat-pusat kebudayaan di luar alam Minangkabau akan kembali melakukan perenungan yang kreatif yang bersikap kritis terhadap alam dan adat Minangkabau. Sekitar tiga dasawarsa sebelum ini, muncul novel-novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan sejumlah novel Balai Pustaka lainnya yang mempersoalkan adat, di masa depan akan lebih gencar lagi, tetapi dalam upaya mengadaptasi nilai-nilai adat dengan kebudayaan era 2020.
Perenungan yang kreatif terhadap tradisi bukan saja akan menghasilkan agenda tindakan, tetapi juga kontrol sampai di mana perubahan itu harus berjalan. Seandainya suatu perubahan tanpa diinginkan terjadi, maka perubahan itu akan dilihat sedemikian rupa sehingga bukan saja secara kultural bisa dimengerti, tetapi juga pengadaptasiannya ke dalam perbendaharaan kultural yang tidak merusak.
Sumatera Barat memang adalah daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang kaya melimpah. Berbagai sumber mineral yang dimilikinya terbatas dan dangkal. Secara geologis daerah ini terapung di atas lempeng tektonis yang rawan gempa. Kawasan pertanian yang datar terbatas dihimpit oleh Bukit Barisan dan pantai yang sempit. Jika pembangunan daerah semata didasarkan pada pertanian tradisional yang bertumpu pada air dan tanah, kemungkinan menaikkan pendapatan penduduk menjadi terbatas. Ini menyebabkan kenapa penduduk miskin masih terdapat banyak di daerah ini.
Keadaan itu juga menjelaskan mengapa kebanyakan penduduk mencari nafkahnya dalam menjual jasa, seperti dalam sektor perdagangan, restoran, sebagai pegawai negeri, dan intelektual. Sifat pekerjaan menjual jasa seperti itu tidak punya akar (foot loose) sehingga bisa berkembang di perantauan.
Dua kelompok masyarakat kemudian tumbuh dan berkembang. Ada sebagian yang tinggal di kampung dengan tingkat kebudayaan yang terbatas. Adapula sebagian yang merantau dan untuk survive diharuskan bekerja, belajar, dan berusaha keras. Tantangan pengembangan masyarakat ke depan era 2020 adalah mengembangkan sinergi antara dua kelompok masyarakat ini sambil menumbuhkan solidaritas etnis.
Pada dasarnya masyarakat Minang adalah captive market yang bisa diandalkan. Perkembangan budaya dalam masyarakat juga menanamkan pendekatan baru dalam pembangunan yakni knowledge based development. Pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan nilai tambah yang dihasilkan berkat penerapan ilmu pengetahuan.
Dalam aspek ini terbuka masa depan yang cerah bagi pembangunan daerah Sumatera Barat. Daerah ini memiliki ratusan cendikiawan yang bertitel Ph.D dan ribuan lagi bertitel sarjana. Ilmu yang dimiliki para lulusan perguruan tinggi ini perlu ditransformasikan menjadi kesempatan menghasilkan nilai tambah atas sumber daya alam atau bahan yang diimpor dari luar.
Sumatera Barat memang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah. Akibat keadaan geografi yang miskin sumber mineral, akibat sejarah yang menempatkan Sumatera Barat sebagai daerah yang pernah “nakal” membangkang terhadap Pusat, dan efek dari perkembangan nuansa pendidikan yang gandrung religius dengan rasonalitas, tumbuh masyarakat Minang yang bisa menjadi modal sosial yang memberikan dharma-baktinya tidak hanya pada daerah Sumatera Barat, tetapi juga pada daerah-daerah lain di seantero tanah air melalui kehadiran para perantaunya. Sumatera Barat memerlukan antisipasi atau terobosan yang jitu menuju masa depan yang menjanjikan. Dengan pemilikan terhadap sumber daya manusia dengan keterampilan dan keilmuan di masa depan, kalau ini dipertahankan akan makin tetap eksis. Bahan baku dan sumber daya alam bisa dimasukkan dari daerah lain dan dengan sentuhan tenaga manusia yang memiliki ilmu dan teknologi di Sumatera Barat bisa dikembangkan nilai tambah atas bahan baku yang diimpornya.
Pola pembangunan Singapura yang menekankan skill sebagai pembangkit nilai tambah terhadap sumber daya alam yang diimpornya dari negara lain menjadi contoh model pembangunan yang bisa ditempuh Sumatera Barat.
Segala usaha yang berbasis pengetahuan hasil otak manusia perlu dikembangkan sebagai pemicu pembangunan daerah, seperti restoran, perdagangan, pariwisata, kesehatan, pendidikan, agama, dan lain-lain. Hakikat pokok strategi pembangunan Sumatera Barat perlu bertmpu pada human skill and knowledge based development.
Sumatera Barat di masa depan akan dapat tampil menjadi sentra pendidikan, pengembangan agama, electronic commerce, ekonomi bar
u, budaya dan aktifitas lain yang mengandalkan ilmu pengetahuan. Ringkasnya, “industri otak” bisa menjadi sangat dominan mempengaruhi pembangunan Sumatera Barat masa depan.

Bibliografi
Chandra, Ade, dkk., Minangkabau dalam Perubahan. Padang: Yasmin Akbar, 2000.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti 1984.
Naim, Mochtar, Minangkabau dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara. Bukittinggi: Panitia Seminar, 1980.
Norman, Colin, Technology Transfer: Its Impact on Third World Employment. Washington DC: Worldwatch Institute, 1978.
Sudjatmoko. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1983.







Label: