DR.Efrinaldi, Pemikiran Politik Islam

Jumat, 10 April 2009

HIKMAH HALAL BI HALAL

HIKMAH HALAL BI HALAL
Oleh: Efrinaldi, MA

Dalam nuansa bulan Syawal umat Islam mengadakan acara halal bi halal. Sudah menjadi suatu kelaziman atau tradisi dalam masyarakat Indonesia, bahwa setelah selesai bulan Ramadhan diadakan acara halal bi halal, baik berskala kecil atau skop keluarga, maupun berskala besar. Halal bi halal menjadi ciri khas umat Islam Indonesia yang memperlihatkan dinamisasi ajaran Islam di Indonesia sangat inherent dengan dinamika perkembangan umat Islam sendiri.
Halal bi halal sebenarnya merupakan sebuah ungkapan yang terdiri dari kata-kata dalam bahasa Arab, tetapi tidak lazim digunakan oleh orang Arab. Dalam babakan sejarah, di Indonesia konon istilah ini muncul pada masa purna agresi Belanda ke Indonesia. Di kala itu ada salah seorang tokoh yang mengusulkan supaya diadakan acara maaf-memaafkan, tetapi tidak tahu persis apa istilah yang tepat. Berselang hari bersilih waktu kemudian muncul istilah baru yang lebih dikenal dengan halal bi halal. Acara itu dilaksanakan berkenaan dengan banyaknya kesalahan selama pergolakan, ada yang salah tangkap, salah tembak, salah sangka, dan lain sebagainya. Acara itu ternyata bertepatan jatuh sesudah Idul Fitri.
Dalam perspektif hukum Islam, kata halal mencuat diartikan sebagai sesuatu yang dibolehkan, sebagai lawan daripada haram. Sedangkan haram merupakan perbuatan yang dilarang, mengakibatkan dosa dan ancaman siksa. Dari segi etimologis, halal bi halal tentu berarti halal dengan halal.
Secara substantif, halal bi halal disebut dengan shilaturrahim. Shilah artinya hubungan, sedangkan rahim berarti kasih sayang. Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambungkan tali kasih sayangnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan terjalinnya kasih sayang yang erat, maka akan melahirkan sikap saling pengertian, saling asah, saling asih, dan saling asuh. Dalam hal ini mencuat adanya sikap saling meminta maaf dan memaafkan, terutama untuk menyambung tali kasih sayang yang dinamakan dengan shilaturrahim tersebut.
Kasih sayang yang terus dikembangkan dan hubungan tali shilaturrahim yang terjalin dengan kuat akan menjadikan hidup ini terasa penuh dengan nuansa keindahan. Hidup terhindar dari kesalahan, karena jika tersalah ada yang mengingatkan demi kebaikan saudaranya. Dengan digalakkannya shilaturrahim atau halal bi halal sesuai dengan cara yang benar, masyarakat dapat terhindar dari terperosok ke dalam perbuatan keji dan munkar.
Puncak dari halal bi halal adalah terwujudnya ukhuwah dan persaudaraan yang kokoh, tidak gampang terkoyak oleh intrik maupun perselisihan pendapat. Hidup penuh dengan persaudaraan, persahabatan, dan persatuan. Persaudaraan bukan hanya berdasar hubungan sedarah dan sepersukuan, tetapi persaudaraan yang bernuansa ikatan religius, ukhuwah Islamiyah. Ittihad al-ummah, umat yang bersatu dan umat yang militan yang menebarkan kebenaran dan kemaslahatan bagi umat manusia. Nabi Muhammad SAW mengibaratkan persaudaraan sesama Muslim itu bagaikan satu tubuh, yang jika kaki tersandung, hati tersayat, tangan mengusap, mata menangis, dan bibir mengaduh.
Rasulullah SAW bersabda, ”Siapa yang ingin dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia selalu menyambung tali kasih sayang, bershilaturrahim (HR. Muslim).
Dengan demikian, halal bi halal adalah suatu tradisi yang baik, yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Halal bi halal merupakan wujud nyata dari suatu kesadaran yang paling dalam akan adanya kesalahan dan kekhilafan terhadap sesama saudara, sahabat, sejawat, mitra serta para kolega. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, halal bi halal dapat menjadi momentum bagi rekonsiliasi nasional demi i’tikad baik untuk membangun bangsa dan negara.
Wallahu A’lam bi al-Shawwab!

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda